PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SATWA LUMBA-LUMBA DALAM PERTUNJUKAN ATRAKSI HIBURAN
Pemanfaatan satwa sebagai objek atraksi pertunjukan sirkus di Indonesia masih marak dilaksanakan hingga saat ini. Pertunjukan sirkus telah menjadi salah satu hiburan rakyat yang melegenda sejak ratusan tahun lalu. Berasal dari belahan bumi bagian barat, merambah hingga ke hampir seluruh negara di Indonesia. Pemanfaatan tersebut bukan hanya eksploitasi, namun juga merupakan tindakan penganiayaan satwa, diantaranya adalah memperlakukan satwa di luar batas kemampuan biologis dan fisiologisnya tanpa memerhatikan kesejahteraan hewan tersebut, bisnis yang telah menunjukkan hewan liar untuk acara promosi, konvensi, dan sesi fotografi, demi kepentingan dan keuntungan bagi sekelompok orang.
Lumba-lumba merupakan salah satu mamalia yang mempunyai kecerdasan tinggi, menyamai kemampuan otak manusia, karena pola berpikir dan emosi yang kompleks. Dengan kecerdasannya tersebut lumba-lumba dianggap sebagi non human person. Penangkapan terhadap lumba-umba merupakan awal dari tindak penyiksaan yang dilakukan menggunakan izin penangkapan maupun tanpa menggunakan izin penangkapan. Terkadang nelayan yang sengaja menangkap lumba-lumba dengan alasan terjerat jaring nelayan, yang pada akhirnya dijadikan hewan sirkus oleh korporasi yang beralasan lumba-lumba akan di konservasi ditempatnya.
Lumba-lumba sirkus akan dilatih dengan sistem reward dan punishment. Pelatih akan membuat lumba-lumba kelaparan dan memaksanya mengikuti instruksi, lalu akan dihadiahi dengan ikan yang sudah tidak segar sebagai bayarannya. Bahkan lumba-lumba akan dibiarkan kelaparan selama 3 hari apabila tidak menuruti instruksi dari pelatih, Lumba-lumba yang mengalami stres karena kelaparan dan berada di kolam kecil terpaksa mengikuti instruksi pelatihnya untuk mendapatkan makanan.
Pengangkutan satwa harus melalui izin kepada Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan juga membutuhkan izin dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) kota yang akan dituju, yakni Surat SATS-DN (Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Dalam Negeri). Pengangkutan lumba-lumba ke dalam maupun luar negeri dilakukan dengan cara diletakkan pada kotak yang hanya seukuran tubuhnya, dan kotak tersebut dimasukkan ke dalam truk yang sempit dan gelap lalu mengangkutnya ke kota pertunjukan berikutnya. Di dalam kotak tersebut lumba-lumba hanya diberi busa yang dibasahi dengan air, lalu kulit lumba-lumba akan dilumuri dengan pelembab kulit manusia atau dengan mentega. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga kelembapan kulit lumba-lumba. Pengangkutan juga diperparah dengan jauh dan lamanya perjalanan pengangkutan lumba-lumba dari satu kota ke kota lainnya, menggunakan transportasi darat atau udara. Selama perjalanan lumba-lumba akan kepanasan dan juga tertekan selama di perjalanan.
Kolam tempat tinggal dan kolam pementasan lumba-lumba juga menjadi salah satu tindak penyiksaan bagi lumba-lumba. Kolam pementasan yang hanya berdiameter 6 meter, diisi oleh air laut buatan berupa air tawar yang dicampur dengan berton-ton garam dan juga klorin. Klorin merupakan senyawa pembunuh kuman yang bersifat korosif dan dapat dipastikan dapat merusak organ mata yang sensitif. Selain itu, keberadaan kolam ini juga dapat merusak sistem pendengaran lumba-lumba, mengingat lumba-lumba merupakan mamalia laut yang menggunakan sonar suara untuk berkomunikasi. Suara tepuk tangan dan sorak penonton juga akan memperparah kerusakan sistem sonar.
Dalam Surat Dirjen PHKA No. S. 388/IV-KKH/2013 tanggal 19 Agustus 2013 yang ditembuskan kepada Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dinyatakan bahwa BKSDA Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta berkewajiban untuk menertibkan, dan menghentikan segala kegiatan sirkus lumba-lumba keliling di wilayah kerja maisng-masing, mengambil tindakan untuk menarik kembali satwa tersebut ke Lembaga Konservasi asalnya serta tidak mengeluarkan SATS-DN (Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Dalam Negeri) bagi peragaan lumba-lumba keliling.
Tetapi komitmen Kementerian Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Akam (PHKA) dalam menertibkan dan menghentikan segala bentuk pertunjukan lumba-lumba tidak pernah dilaksanakan. Kendati sudah ada kesepakatan antara pelaku bisnis sirkus kumba-lumba keliling dengan Perhimpunan Kebun Binatang Seluruh Indonesia (PKBSI) tentang penghentian aktivitas sirkus keliling tersebut di Kantor Majelis Permusyawaratan Rakyar RI di Jakarta tanggal 19 Agustus 2013 silam, namun aktivitas eksploitasi melalui sirkus lumba-lumba masih terus berjalan sehingga saat ini di beberapa wilayah.
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, dalam lampirannya tertulis di bagian mamalia (menyusui) Dolphinidae lumba-lumba air laut (semua jenis dari famili Dolphinidae) dan Ziphiidae lumba-lumba air laut (semua jenis dari famili Ziphiidae) merupakan salah satu jenis satwa yang harus dilindungi. Maka perawatan dan pengawasannya haruslah dengan baik dan ketat. Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, kesejahteraan hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia. Di dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan menyatakan bahwa:
Untuk kepentingan kesejahteraan hewan dilakukan tindakan yang berkaitan dengan penangkapan dan penanganan; penempatan dan pengandangan; pemeliharaan dan perawatan; pengangkutan; pemotongan dan pembunuhan; serta perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap hewan.Ketentuan mengenai kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara manusiawi yang meliputi:penangkapan dan penanganan satwa dari habitatnya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang konservasi; penempatan dan pengandangan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga memungkinkan hewan dapat mengekspresikan perilaku alaminya;pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan pengayoman hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa lapar dan haus, rasa sakit, penganiayaan dan penyalahgunaan, serta rasa takut dan tertekan;pengangkutan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa takut dan tertekan serta bebas dari penganiayaan; penggunaan dan pemanfaatan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari penganiayaan dan penyalahgunaan;pemotongan dan pembunuhan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa sakit, rasa takut dan tertekan, penganiyaan, dan penyalahgunaan; danperlakuan terhadap hewan harus dihindari dari tindakan penganiayaan dan penyalagunaan.Ketentuan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kesejahteraan hewan harus memperhatikan kaidah etika dan kesejahteraan hewan. Tetapi dalam praktik pertunjukan atraksi sirkus lumba-lumba perlakuan penangkapan, pengandangan, pemeliharaan, pengangkutan dan perlakuan terhadap lumba-lumba bukanlah cerminan dari kesejahteraan hewan. Dalam Pasal 21 Ayat (2) Huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengatakan bahwa setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup. Hal ini sudah sangat jelas dilarang untuk melakukan hal-hal tersebut. Pengecualian untuk aturan ini diperbolehkan apabila dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis satwa yang bersangkutan. Tetapi hal ini malah menjadi celah bagi pelaku untuk menjadikan pengecualian tersebut menjadi alasan penangkapan mereka.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga mengatur pidana terhadap orang yang melakukan penyiksaan terhadap hewan. Pasal 302 KUHP menentukan:
Diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan:
barang siapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya;
barang siapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak memberi makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada di bawah pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya.
Jika perbuatan itu mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat atau menderita luka-luka berat lainnya, atau mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah, karena penganiayaan hewan.
Jika hewan itu milik yang bersalah, maka hewan itu dapat dirampas.
Percobaan melakukan kejahatan tersebut tidak dipidana.
Aturan diatas sangat jelas akan adanya sanksi apabila masyarakat masih melakukan tindakan penganiayaan dan penyalahgunaan terhadap hewan, melukai atau merusak kesehatan hewan demi kepuasan dan/atau keuntungan dari hewan dengan memperlakukan secara tidak wajar dapat diancam dengan pidana penjara atau denda. Segala peraturan yang ada dan mengatur terkait lumba-lumba sebagai satwa dilindungi dan sebagai peragaan sudah diatur oleh pemerintah, tetapi masih ada celah dan kelalaian oleh pemegang lumba-lumba. Seharusnya segala bentuk hiburan peragaan lumba-lumba ditiadakan karena hal ini murni hanya sebatas bisnis. Alasan pendidikan mengenai lumba-lumba dan pengobatan hanya sebuah kedok dari bisnis ini. Karena hiburan ini memberikan masukan pendapatan juga kepada negara, hingga saat ini masih tetap berjalan. Sebuah pentas lumba-lumba bisa menghasilkan hingga Rp8.000.000,- sebuah angka yang cukup besar. Dalam hiburan lebih menitik beratkan sisi ekonominya di banding sisi kemanusiaan terhadap kehewanan.
Organsisasi yang membantu menyelamatkan, menolong, menampung ataupun memberikan edukasi mengenai hewan berharap sirkus lumba-lumba dihentikan karena hal ini jelas tidak sejahtera bagi satwa, kembalinya fungsi lumbalumba di alam liar, pembaruan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 agar semua permasalahan mengenai kesejahteraan lumba-lumba dapat selesai teratasi.
Sumber:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Fanny, Vivian dan Ahmad Redi. “Perlindungan Lumba-Lumba Sebagai Satwa Langka Yang Dilindungi dari Tindakan Penempatan dan Atraksi Hiburan Lumba-Lumba yang Tidak Sesuai”. Jurnal Hukum Adigama Universitas Tarumanagara. Diakses tanggal 15 Oktober 2019.
Anonim. “Perlindungan Hukum Terhadap Satwa Lumba-Lumba Untuk Pertunjukan Dalam Praktik” http://repository.unpas.ac.id/33784/2/H.%20 BAB %203.pdf . Diakses tanggal 15 Oktober 2019.