Dalam tahun 1946, tepatnya tanggal 3 Juli, telah diintrodusir suatu terminologi baru dalam hukum pidana di Indonesia, yang dinamakan pidana tutupan, yaitu satu jenis pidana bagi mereka yang patut dihormati. Penerapan terminologi baru ini berkaitan dengan dilakukan penangkapan dan pemenjaraan terhadap tokoh-tokoh politik pada waktu itu, antara lain Muhammad Yamin dan Mayjen Sudarsono, yang meminta agar Kabinet Sjahrir dicopot oleh Presiden Soekarno. Namun permintaan ini ditolak oleh Presiden Soekarno dan kepada mereka dikenakan pemidanaan penjara/tutupan. Akan tetapi bagaimana wujud serta substansi pidana tutupan ini. Bahkan terhadap siapa yang dimaksud sebagai narapidana yang wajib dihormati, masih belum jelas.
Pidana tutupan disediakan bagi politisi yang melakukan kejahatan yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya. Tetapi dalam praktek peradilan dewasa ini, tidak pernah ketentuan tersebut diterapkan. Pidana tutupan merupakan perkembangan jenis pidana baru yang pembentukannnya berdasarkan Undang-undang No. 20 tahun 1946 tentang hukuman tutupan sehingga ditambahkan jenis – jenis pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 10 KUHP dengan satu pidana baru. Adapun maksud ditetapkannya Undang-undang No. 20 tahun 1946, K. Wantjik Saleh menyatakan bahwa dari ketentuan Pasal 1 dan 2 Undang Undang No. 20 tahun 1946 dapat disimpulkan sebagai berikut: “Pidana tutupan dimaksud dapat menggantikan hukuman penjara dalam hal orang yang melakukan kejahatan diancam dengan hukuman penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati. Tetapi hal itu tergantung pada hakim. Kalau menurut pendapat hakim perbuatan yang merupakan kejahatan atau acara melakukan perbuatan itu atau akibat perbuatan itu hukuman penjara lebih pada tempatnya, maka hakim menjatuhkan hukuman penjara.” Diadakannya hukuman tutupan itu dimaksudkan untuk kejahatan-kejahatan yang bersifat politik sehingga orang-orang yang melakukan kejahatan politik itu akan dibedakan dengan kejahatan biasa. Hubungannya diadakan undang-undang No. 20 tahun 1946 dengan politik kiranya dapat dilihat konsiderannya yang menyebutkan maklumat Wakil Presiden No. X yakni tentang anjuran pendirian partai politik. Selanjutnya ditentukan bahwa semua peraturan yang mengenai hukuman penjara juga berlaku terhadap hukuman tutupan jika peraturan-peraturan itu tidak bertentangan dengan sifat atau peraturan khusus tentang hukuman tutupan.
Pidana tutupan ini ditambahkan ke dalam Pasal 10 KUHP melalui UU No. 20 Tahun 1946, yang dimaksudnya sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan bahwa dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan. Pada ayat 2 dinyatakan bahwa pidana tutupan tidak dijatuhkan apabila perbuatan yang merupakan kejahatan itu adalah sedemikian rupa sehingga hakim berpendapat bahwa pidana penjara lebih tepat.
Tempat dan menjalani pidana tutupan serta segala sesuatu yang perlu untuk melaksanakan UU No. 20 Tahun 1946 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1948, yang dikenal dengan Peraturan Pemerintah Tentang Rumah Tutupan.
Di dalam Peraturan Nomor 8 Tahun 1948 ini, terlihat bahwa rumah tutupan itu berlaku berbeda dengan rumah penjara (Lembaga Pemasyarakatan) karena keadaan rumah tutupan itu, serta fasilitas-fasilitasnya adalah lebih baik dari yang ada pada penjara, misalnya dapat kita baca dalam Pasal 55 ayat 2 dan 5,36 ayat 1 dan 3, 37 ayat 2. Pasal 33 menyatakan bahwa makanan orang pidana tutupan harus lebih baik dari makanan orang dipidana penjara. Uang rokok bagi yang tidak merokok diganti dengan uang seharga rokok tersebut.
Dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam PP Nomor 8 Tahun 1984 tersebut, dapat diketahui bahwa narapidana tutupan itu lebih banyak mendapatkan fasilitas dari pada narapidana penjara. Hal ini disebabkan karena orang yang dipidana tutupan itu tidak sama dengan orang-orang yang dipidana penjara. Tindak pidana yang didorong oleh maksud yang patut dihormati.
Berdasarkan bunyi Pasal 1 ayat 1 PP ini, tampaknya pidana tutupan bukan jenis pidana yang berdiri sendiri, melainkan pidana penjara juga. Perbedaan hanyalah terletak pada orang yang dapat dipidana tutupan hanya bagi orang yang melakukan tindak pidana karena didorong oleh maksud yang patut dihormati. Sayangnya dalam undang-undang itu maupun PP Pelaksanaannya itu tidak dijelaskan tentang unsur maksud yang patut dihormati itu. Karena itu penilaiannya, kriterianya diserahkan sepenuhnya kepada hakim.
Dalam praktik hukum selama ini, hampir tidak pernah ada putusan hakim yang menjatuhkan pidana tutupan. Sepanjang sejarah praktik hukum diindonesia, pernah terjadi hanya satu kali hakim menjatuhkan pidana tutupan, yaitu putusan Mahkamah Tentara Agung RI pada Tanggal 27 Mei 1948 dalam hal mengadili para pelaku kejahatan yang dikenal dengan sebutan peristiwa 3 Juli 1946.
Sumber :
Mahrus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.
Gunadi ismu, effendi jonaedi, 2011, cepat dan mudah memahami hukum pidana (jilid 1), Prestasi Pustaka, Jakarta.
Moeljatno. 2003. Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara.