Laporan Kemajuan PKM-M

GAGASAN BARU DALAM WAJAH HUKUM HUKUM DI INDONSEIA (OMIBUS LAW: Oleh Ahmad Husni Ubaidillah)

GAGASAN BARU DALAM WAJAH HUKUM HUKUM DI INDONSEIA ( OMIBUS LAW )               Peraturan perundang-undangan merupakan salah satu ele...

Senin, 30 September 2019

PIDANA TUTUPAN

PIDANA TUTUPAN

Dalam tahun 1946, tepatnya tanggal 3 Juli, telah diintrodusir suatu terminologi baru dalam hukum pidana di Indonesia, yang dinamakan pidana tutupan, yaitu satu jenis pidana bagi mereka yang patut dihormati. Penerapan terminologi baru ini berkaitan dengan dilakukan penangkapan dan pemenjaraan terhadap tokoh-tokoh politik pada waktu itu, antara lain Muhammad Yamin dan Mayjen Sudarsono, yang meminta agar Kabinet Sjahrir dicopot oleh Presiden Soekarno. Namun permintaan ini ditolak oleh Presiden Soekarno dan kepada mereka dikenakan pemidanaan penjara/tutupan. Akan tetapi bagaimana wujud serta substansi pidana tutupan ini. Bahkan terhadap siapa yang dimaksud sebagai narapidana yang wajib dihormati, masih belum jelas.
             Pidana tutupan disediakan bagi politisi yang melakukan kejahatan yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya. Tetapi dalam praktek peradilan dewasa ini, tidak pernah ketentuan tersebut diterapkan. Pidana tutupan merupakan perkembangan jenis pidana baru yang pembentukannnya berdasarkan Undang-undang No. 20 tahun 1946 tentang hukuman tutupan sehingga ditambahkan jenis – jenis pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 10 KUHP dengan satu pidana baru. Adapun maksud ditetapkannya Undang-undang No. 20 tahun 1946, K. Wantjik Saleh menyatakan bahwa dari ketentuan Pasal 1 dan 2 Undang Undang No. 20 tahun 1946 dapat disimpulkan sebagai berikut: “Pidana tutupan dimaksud dapat menggantikan hukuman penjara dalam hal orang yang melakukan kejahatan diancam dengan hukuman penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati. Tetapi hal itu tergantung pada hakim. Kalau menurut pendapat hakim perbuatan yang merupakan kejahatan atau acara melakukan perbuatan itu atau akibat perbuatan itu hukuman penjara lebih pada tempatnya, maka hakim menjatuhkan hukuman penjara.” Diadakannya hukuman tutupan itu dimaksudkan untuk kejahatan-kejahatan yang bersifat politik sehingga orang-orang yang melakukan kejahatan politik itu akan dibedakan dengan kejahatan biasa. Hubungannya diadakan undang-undang No. 20 tahun 1946 dengan politik kiranya dapat dilihat konsiderannya yang menyebutkan maklumat Wakil Presiden No. X yakni tentang anjuran pendirian partai politik. Selanjutnya ditentukan bahwa semua peraturan yang mengenai hukuman penjara juga berlaku terhadap hukuman tutupan jika peraturan-peraturan itu tidak bertentangan dengan sifat atau peraturan khusus tentang hukuman tutupan.
                  Pidana tutupan ini ditambahkan ke dalam Pasal 10 KUHP melalui UU No. 20 Tahun 1946, yang dimaksudnya sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan bahwa dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan. Pada ayat 2 dinyatakan bahwa pidana tutupan tidak dijatuhkan apabila perbuatan yang merupakan kejahatan itu adalah sedemikian rupa sehingga hakim berpendapat bahwa pidana penjara lebih tepat.
Tempat dan menjalani pidana tutupan serta segala sesuatu yang perlu untuk melaksanakan UU No. 20 Tahun 1946 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1948, yang dikenal dengan Peraturan Pemerintah Tentang Rumah Tutupan.
Di dalam Peraturan Nomor 8 Tahun 1948 ini, terlihat bahwa rumah tutupan itu berlaku berbeda dengan rumah penjara (Lembaga Pemasyarakatan) karena keadaan rumah tutupan itu, serta fasilitas-fasilitasnya adalah lebih baik dari yang ada pada penjara, misalnya dapat kita baca dalam Pasal 55 ayat 2 dan 5,36 ayat 1 dan 3, 37 ayat 2. Pasal 33 menyatakan bahwa makanan orang pidana tutupan harus lebih baik dari makanan orang dipidana penjara. Uang rokok bagi yang tidak merokok diganti dengan uang seharga rokok tersebut.

           Dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam PP Nomor 8 Tahun 1984 tersebut, dapat diketahui bahwa narapidana tutupan itu lebih banyak mendapatkan fasilitas dari pada narapidana penjara. Hal ini disebabkan karena orang yang dipidana tutupan itu tidak sama dengan orang-orang yang dipidana penjara. Tindak pidana yang didorong oleh maksud yang patut dihormati.
Berdasarkan bunyi Pasal 1 ayat 1 PP ini, tampaknya pidana tutupan bukan jenis pidana yang berdiri sendiri, melainkan pidana penjara juga. Perbedaan hanyalah terletak pada orang yang dapat dipidana tutupan hanya bagi orang yang melakukan tindak pidana karena didorong oleh maksud yang patut dihormati. Sayangnya dalam undang-undang itu maupun PP Pelaksanaannya itu tidak dijelaskan tentang unsur maksud yang patut dihormati itu. Karena itu penilaiannya, kriterianya diserahkan sepenuhnya kepada hakim.
               Dalam praktik hukum selama ini, hampir tidak pernah ada putusan hakim yang menjatuhkan pidana tutupan. Sepanjang sejarah praktik hukum diindonesia, pernah terjadi hanya satu kali hakim menjatuhkan pidana tutupan, yaitu putusan Mahkamah Tentara Agung RI pada Tanggal 27 Mei 1948 dalam hal mengadili para pelaku kejahatan yang dikenal dengan sebutan peristiwa 3 Juli 1946.

Sumber :
Mahrus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.
Gunadi ismu, effendi jonaedi, 2011, cepat dan mudah memahami hukum pidana (jilid 1), Prestasi Pustaka, Jakarta.
Moeljatno. 2003. Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara.

Sabtu, 14 September 2019

Sita Harta Bersama (Marital Beslag)


Selain sita revindikasi dan sita jaminan (Conservatoir Beslag) terdapat pula bentuk sita khusus yang diterapkan terhadap harta bersama suami-istri, apabila terjadi sengketa perceraian atau pembagian harta bersama. Dalam penulisan dan praktik peradilan umum disebut dengan sita marital. Perkataan sita marital berasal dari marital beslag. Dalam perkembangannya hukum Belanda saat ini disebut sebagai sita matrimonia, karena makna kesetaraan antara suami-istri dalam perkawinan. Dalam sistem hukum Indonesia, dapat dipergunakan istilah sita harta bersama atau sita harta perkawinan. Sebutan itu memperlihatkan kedudukan yanng setara (equal) antara suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga. Kesetaraan ini secara tegas dirumuskan dalam Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa hak dan kedudukan istri seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyrakat. Bahkan pada Ayat (2) ditegaskan lagi, masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Sehubungan dengan itu, dipergunakan istilah tersebut tanpa mengurangi kemungkinan penggunaan sita marital.
Tujuan sita bersama untuk membekukan harta bersama suami-istri melalui penyitaan, agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses perkara perceraian atau pembagian harta bersama berlangsung. Pembekuan harta bersana  di bawah penyitaan berfungsi untuk mengamankan atau melindungi keberadaan dan keutuhan harta bersama atau tindakan yang tidak bertanggung jawab dari Tergugat. Dalam permintaan sita marital, terdapat tindakan pengamanan yang diamanatkan sita bersama sebagaimana berpedoman pada Pasal 823 Rv, tindakan pengamanan meliputi tahap penyegelan, pencatatan, penilaian harta bersama, dan penyitaan harta bersama.
Pengaturan sita bersama ditemukan dalam beberapa peraturan perundang-undangan yaitu:
§    Pasal 190 KUHPerdata
Sementara perkara berjalan, dengan izin hakim, istri boleh mengadakan tindakan-ttindakan untuk menjaga agar harta kekayaan persatuan tidak habis atau diboroskan
§    Pasal 24 Ayat (2) Huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
“Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat :
a.        Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;
b.        Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;
c.         Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-isteri atau barangbarang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.
Sita harta bersama diterapkan pada perkara gugatan perceraian, pihak yang dapat megajukan sita bersama tidak hanya terbatas pada istri tetapi juga dapat dilakukan oleh suami. Karen ahak dan kedudukan suami-istri seimbang termasuk dalam kedudukan atas harta bersama. Sehingga dasar pemintaan sita untuk meminta sita marital dalam perkara perceraian bukan berdasarkan faktor kedudukan sebagai penggugat, tetapi pada faktor siapa yang menguasai harta bersama. Sistem yang memberi hak kepada Tergugat untuk mengajukan permintaan sita marital dalam perkara perceraian, melalui jalur gugatan rekovensi yang berisi tuntutan pembagian harta bersama dan dibarengi dengan permintaan sita harta bersama.
Penerapan sita harta bersama meliputi seluruh harta bersama. Tidak dibenarkan secara parsial, hanya diletakkan terhadap harta yang dikuasai Tergugat saja. Berdasarkan pengertian sita marital itu sendiri adalah sita terhadap seluruh harta bersama secara total baik yang ada di tangan suami atau istri. Harta bersama menurut Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah  harta yang diperoleh suami-istri selama perkawinan berlangsung dan Pasal 36 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terhadap harta bersama suami-istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Penyitaan tidak menjangkau harta pribadi suami-istri, yaitu harta yang telah dimiliki suami-istri sebelum perkawinan berlangsung maupun hadiah atau warisan yang diterima suami-istri selama perkawinan berlangsung.

Sita Penyesuaian (Vergelijkende Beslag)
Sita penyesuaian diatur dalam Pasal 436 Rv yang mengatur prinsip saisine net vaut, yaitu sita jaminan atau sita eksekusi atau sita pada umumnya, hanya boleh diletakkan satu kali atas suatu barang yang sama pada saat yang bersamaan. Oleh karena itu, apabila pihak ketuga meminta sita diletakkan atas suatu barang debitur atau Tegugat yang telah diletakkan sita sebelumnya, atas permintaan kreditur atau Penggugat, permintaan sita tersebut (yang terakhir) harus dinyakan tidak dapat diterima atau ditolak, sebagai gantinya hanya dapat diletakkan sita persamaan, yang dinyatakan dan dicatat dalam berita sita yang menjelaskan, oleh karena atas barang yang diminta sita telah terlebih dahulu disita atas permintaan orang lain maka yamg dapat dikabulkan adalah sita penyesuaian. Prinsip ini diterapakna agar tidak terjadi penyitaan yang tumpang tindih atas barang debitur yang sama pada waktu yang bersamaan.
Apabila atas permintaan Penggugat atau Kreditor telah diletakkan sita jamina (conservatoir beslag), sita revindicatoir, sita eksekusi (executorial beslag), atau sita marital (marital beslag), maka pada waktu yang bersamaan, tidak dapat diminta dan dilaksanakan penyitaan terhadap barang itu atas permintaan Penggugat atau Kreditor lain, sesuai dengan asas bahwa pada waktu yang bersamaan hanya dapat diletakkan satu kali saja penyitaan terhadap barang yang sama. Permintaan sita yang kedua dari pihak ketiga, harus ditolak atau tidak dapat diterima atas alasan pada barang yang bersangkutan telah diletakkan sita sebelumnya atas permintaan Penggugat atau Kreditor terdahulu, yang dapat dikabulkan kepada pemohon yang belakangan hanya berbentuk sita penyesuaian atau berkedudukan sebagai pemegang sita peyesuaian.
Sebagai pemohon belakangan diberikan posisi berikutnya dengan ketentuan apabila sita pertama diangkat, pemegang sita penyesuaian naik peringkatnya menjadi pemegang sita pertama atau jika barang sitaan dijual lelang, dan dari hasil penjualan terdapat sisa setelah dilunasi pembayarannya kepada pemegang sita pertama maka sisa itu jatuh menjadi hak pemegang sita penyesuaian.
Sita Eksekusi
Berdasarkan Pasal 197 HIR/208 Rbg menyatakan bahwa:
Jika  sesudah  lewat  tempo  yang  telah  ditentukan itu,  belum  juga  dipenuhi putusan  itu  atau  jika  pihak  yang  dikalahkan  itu  walaupun  telah  dipanggil dengan   patut  tidak  juga datang menghadap maka ketua atau pegawai yang dikuasakan  itu  karena  jabatannya  memberi  perintah  dengan  surat  supaya disita  sejumlah barang kepunyaan  pihak  yang  dikalahkan sekian barang  bergerak dan jika yang demikian tidak ada atau ternyata tiada cukup, sekian barang tak bergerak kepunyaan orang yang kalah itu, sampai dianggap cukup menjadi pengganti jumlah uang tersebut dalam keputusan itu dan semua biaya untuk melaksanakan keputusan itu”.
Sita eksekusi merupakan sita yang berhubungan dengan masalah pelaksanaan suatu putusan karena pihak Tergugat tidak mau melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum secara sukarela meskipun Pengadilan telah memperingatkan agar putusan tersebut dilaksanakan secara sukarela sebagaimana mestinya. Sita eksekusi dapat dilakukan apabila telah mempunyai title eksekutorial (mempunyai kekuatan hukum yang tetap) dengan irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Terdapat dua macam sita eksekusi, yaitu:
§  Sita Eksekusi Langsung
Sita eksekusi langsung diletakkan atas barang bergerak dan barang tidak bergerak milik debitur atau pihak yang kalah. Sehubungan dengan pelaksanaan grosse akta pengakuan utang yang berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” atau hak tanggungan. Apabila barang-barang yang disita sebelumnya dengan sita conservatoir, yang dalam rangka eksekusi telah berubah menjadi sita eksekusi dan dilelang, hasilnya tidak cukup untuk membayar jumlah uang yang harus dibayar berdasarkan putusan pengadilan, maka akan dilakukan sita eksekusi lanjutan terhadap barang-barang milik tergugat untuk kemudian dilelang.
§  Sita Eksekusi Tidak Langsung
Sita eksekusi yang berasal dari sita jaminan yang telah dinyatakan sah dan berharga dalam rangka eksekusi otomatis berubah menjadi sita eksekusi.

Daftar Pustaka:
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Sinar Grafika: Jakarta.
Pengadilan Negeri Ponorogo. Proses Acara Penyitaan. http://pn-ponorogo.go.id/joomla /index.php /kepaniteraan/kepaniteraan-perdata/proses-acara-perdata/penyitaan. Diakses pada tanggal 14 September 2019, pukul 23.45 WIB.