Selain
sita revindikasi dan sita jaminan (Conservatoir
Beslag) terdapat pula bentuk sita khusus yang diterapkan terhadap harta
bersama suami-istri, apabila terjadi sengketa perceraian atau pembagian harta
bersama. Dalam
penulisan dan praktik peradilan umum disebut dengan sita marital. Perkataan
sita marital berasal dari marital beslag.
Dalam perkembangannya hukum Belanda saat ini disebut sebagai sita matrimonia,
karena makna kesetaraan antara suami-istri dalam perkawinan. Dalam sistem hukum
Indonesia, dapat dipergunakan istilah sita harta bersama atau sita harta
perkawinan. Sebutan itu memperlihatkan kedudukan yanng setara (equal) antara suami dan istri dalam
kehidupan rumah tangga. Kesetaraan ini secara tegas dirumuskan dalam Pasal 31
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa hak dan
kedudukan istri seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah
tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyrakat. Bahkan pada Ayat (2)
ditegaskan lagi, masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Sehubungan dengan itu, dipergunakan istilah tersebut tanpa mengurangi
kemungkinan penggunaan sita marital.
Tujuan
sita bersama untuk membekukan harta bersama suami-istri melalui penyitaan, agar
tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses perkara perceraian atau
pembagian harta bersama berlangsung. Pembekuan harta bersana di bawah penyitaan berfungsi untuk
mengamankan atau melindungi keberadaan dan keutuhan harta bersama atau tindakan
yang tidak bertanggung jawab dari Tergugat. Dalam permintaan sita marital,
terdapat tindakan pengamanan yang diamanatkan sita bersama sebagaimana
berpedoman pada Pasal 823 Rv, tindakan pengamanan meliputi tahap penyegelan,
pencatatan, penilaian harta bersama, dan penyitaan harta bersama.
Pengaturan
sita bersama ditemukan dalam beberapa peraturan perundang-undangan yaitu:
§ Pasal
190 KUHPerdata
“Sementara
perkara berjalan, dengan izin hakim, istri boleh mengadakan tindakan-ttindakan
untuk menjaga agar harta kekayaan persatuan tidak habis atau diboroskan”
§ Pasal
24 Ayat (2) Huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
“Selama
berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat,
Pengadilan dapat :
a.
Menentukan
nafkah yang harus ditanggung oleh suami;
b.
Menentukan
hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;
c.
Menentukan
hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak
bersama suami-isteri atau barangbarang yang menjadi hak suami atau
barang-barang yang menjadi hak isteri.”
Sita
harta bersama diterapkan pada perkara gugatan perceraian, pihak yang dapat
megajukan sita bersama tidak hanya terbatas pada istri tetapi juga dapat
dilakukan oleh suami. Karen ahak dan kedudukan suami-istri seimbang termasuk
dalam kedudukan atas harta bersama. Sehingga dasar pemintaan sita untuk meminta
sita marital dalam perkara perceraian bukan berdasarkan faktor kedudukan
sebagai penggugat, tetapi pada faktor siapa yang menguasai harta bersama. Sistem
yang memberi hak kepada Tergugat untuk mengajukan permintaan sita marital dalam
perkara perceraian, melalui jalur gugatan rekovensi yang berisi tuntutan
pembagian harta bersama dan dibarengi dengan permintaan sita harta bersama.
Penerapan
sita harta bersama meliputi seluruh harta bersama. Tidak dibenarkan secara
parsial, hanya diletakkan terhadap harta yang dikuasai Tergugat saja.
Berdasarkan pengertian sita marital itu sendiri adalah sita terhadap seluruh
harta bersama secara total baik yang ada di tangan suami atau istri. Harta
bersama menurut Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah harta yang diperoleh suami-istri selama
perkawinan berlangsung dan Pasal 36 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
terhadap harta bersama suami-istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah
pihak. Penyitaan tidak menjangkau harta pribadi suami-istri, yaitu harta yang
telah dimiliki suami-istri sebelum perkawinan berlangsung maupun hadiah atau
warisan yang diterima suami-istri selama perkawinan berlangsung.
Sita Penyesuaian (Vergelijkende Beslag)
Sita
penyesuaian diatur dalam Pasal 436 Rv yang mengatur prinsip saisine net vaut, yaitu sita jaminan
atau sita eksekusi atau sita pada umumnya, hanya boleh diletakkan satu kali
atas suatu barang yang sama pada saat yang bersamaan. Oleh karena itu, apabila
pihak ketuga meminta sita diletakkan atas suatu barang debitur atau Tegugat
yang telah diletakkan sita sebelumnya, atas permintaan kreditur atau Penggugat,
permintaan sita tersebut (yang terakhir) harus dinyakan tidak dapat diterima
atau ditolak, sebagai gantinya hanya dapat diletakkan sita persamaan, yang
dinyatakan dan dicatat dalam berita sita yang menjelaskan, oleh karena atas
barang yang diminta sita telah terlebih dahulu disita atas permintaan orang
lain maka yamg dapat dikabulkan adalah sita penyesuaian. Prinsip ini
diterapakna agar tidak terjadi penyitaan yang tumpang tindih atas barang
debitur yang sama pada waktu yang bersamaan.
Apabila
atas permintaan Penggugat atau Kreditor telah diletakkan sita jamina (conservatoir beslag), sita revindicatoir, sita eksekusi (executorial beslag), atau sita marital (marital beslag), maka pada waktu yang
bersamaan, tidak dapat diminta dan dilaksanakan penyitaan terhadap barang itu
atas permintaan Penggugat atau Kreditor lain, sesuai dengan asas bahwa pada
waktu yang bersamaan hanya dapat diletakkan satu kali saja penyitaan terhadap
barang yang sama. Permintaan sita yang kedua dari pihak ketiga, harus ditolak
atau tidak dapat diterima atas alasan pada barang yang bersangkutan telah
diletakkan sita sebelumnya atas permintaan Penggugat atau Kreditor terdahulu,
yang dapat dikabulkan kepada pemohon yang belakangan hanya berbentuk sita
penyesuaian atau berkedudukan sebagai pemegang sita peyesuaian.
Sebagai
pemohon belakangan diberikan posisi berikutnya dengan ketentuan apabila sita
pertama diangkat, pemegang sita penyesuaian naik peringkatnya menjadi pemegang
sita pertama atau jika barang sitaan dijual lelang, dan dari hasil penjualan
terdapat sisa setelah dilunasi pembayarannya kepada pemegang sita pertama maka
sisa itu jatuh menjadi hak pemegang sita penyesuaian.
Sita Eksekusi
Berdasarkan
Pasal 197 HIR/208 Rbg menyatakan bahwa:
“Jika
sesudah lewat tempo
yang telah ditentukan itu, belum
juga dipenuhi putusan itu
atau jika pihak
yang dikalahkan itu
walaupun telah dipanggil dengan patut
tidak juga datang menghadap maka
ketua atau pegawai yang dikuasakan
itu karena jabatannya
memberi perintah dengan
surat supaya disita sejumlah barang kepunyaan pihak
yang dikalahkan sekian
barang bergerak dan jika yang demikian
tidak ada atau ternyata tiada cukup, sekian barang tak bergerak kepunyaan orang
yang kalah itu, sampai dianggap cukup menjadi pengganti jumlah uang tersebut
dalam keputusan itu dan semua biaya untuk melaksanakan keputusan itu”.
Sita
eksekusi merupakan sita yang berhubungan dengan masalah pelaksanaan suatu
putusan karena pihak Tergugat tidak mau melaksanakan putusan yang telah
berkekuatan hukum secara sukarela meskipun Pengadilan telah memperingatkan agar
putusan tersebut dilaksanakan secara sukarela sebagaimana mestinya. Sita
eksekusi dapat dilakukan apabila telah mempunyai title eksekutorial (mempunyai
kekuatan hukum yang tetap) dengan irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Terdapat
dua macam sita eksekusi, yaitu:
§ Sita
Eksekusi Langsung
Sita eksekusi langsung diletakkan atas barang
bergerak dan barang tidak bergerak milik debitur atau pihak yang kalah.
Sehubungan dengan pelaksanaan grosse akta pengakuan utang yang berkepala “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” atau hak tanggungan. Apabila
barang-barang yang disita sebelumnya dengan sita conservatoir, yang dalam rangka eksekusi telah berubah menjadi sita eksekusi dan dilelang, hasilnya
tidak cukup untuk membayar jumlah uang yang harus dibayar berdasarkan putusan
pengadilan, maka akan dilakukan sita eksekusi lanjutan terhadap barang-barang
milik tergugat untuk kemudian dilelang.
§ Sita
Eksekusi Tidak Langsung
Sita eksekusi yang berasal dari sita jaminan yang
telah dinyatakan sah dan berharga dalam rangka eksekusi otomatis berubah
menjadi sita eksekusi.
Daftar
Pustaka:
Harahap,
M. Yahya. Hukum Acara Perdata tentang
Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Sinar
Grafika: Jakarta.
Pengadilan
Negeri Ponorogo. Proses Acara Penyitaan. http://pn-ponorogo.go.id/joomla
/index.php /kepaniteraan/kepaniteraan-perdata/proses-acara-perdata/penyitaan.
Diakses pada tanggal 14 September 2019, pukul 23.45 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar