Menelisik Keabsahan Non Competition Clause di Indonesia
Bekerja merupakan salah satu kebutuhan manusia yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan. Dalam ketentuan Pasal 28 D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 ditegaskan :
“ Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”
Hal tersebut dikuatkan oleh Pasal 38 ayat (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.
Pengaturan tersebut memberikan pengertian bahwa bekerja merupakan salah satu bagian dari hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi, dimana setiap manusia diberikan hak untuk bekerja serta bebas memilih pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Pengaturan serupa juga di atur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Prinsipnya, UU Ketenagakerjaan memberikan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk memilih, mendapatkan atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak baik di dalam maupun di luar negeri.
Terdapat dua pihak dalam hubungan ketenagakerjaan yaitu pekerja dan pengusaha. Hubungan hukum antara pekerja dan pengusaha diwujudkan dengan perjanjian kerja, di mana perjanjian tersebut mengatur mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban pekerja dan pengusaha. Sebagaimana dalam Pasal 50 UU Ketenagakerjaan dikatakan bahwa :
“Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruhnya.”
Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian yang diadakan antara majikan tertentu dan karyawan atau karyawan-karyawan tertentu, yang umumnya berkenaan dengan segala persyaratan yang secara timbal-balik harus dipenuhi oleh kedua belah pihak, selaras dengan hak dan kewajiban mereka masing-masing terhadap satu sama lainnya.
Perjanjian kerja merupakan perjanjian yang memaksa (dwang contract), karena para pihak tidak dapat menentukan sendiri keinginannya dalam perjanjian yang satu (pengusaha) mempunyai kedudukan yang lebih tinggi atau berposisi kuat dibandingkan dengan pihak lainnya (pekerja) yang mempunyai kedudukan lebih rendah atau berposisi lemah, sehingga terjadi relasi kuasa yang tidak seimbang (subordinatif).
Dalam praktik masih terdapat hubungan pengusaha dan pekerja yang tidak harmonis, banyak pekerja yang merasa diperlakukan tidak adil dan layak oleh pengusaha. Bahkan di dalam perjanjian kerja itu sendiri diatur klausul yang memberatkan salah satu pihak sehingga menimbulkan kedudukan yang tidak seimbang. Salah satunya adalah klausul non-kompetisi (non competition clause/ non-competition covenant).
Black’s Law Dictionary mendefinisikan non-competition covenant sebagai a promise usually in a sale-of-business, partnership or employment contract, not to engage in the same type of business for a stated time in the same market as the buyer, partner or employer.
Sedangkan Wikipedia mendefinisikan a non-compete clause or covenant not to compete sebagai a term used in a contract law under which one party (usually an employee) agrees not to pursue a similar profession or trade in competition against another party (usually the employer).
Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik pemahaman bahwa non competition clause merupakan suatu klausul larangan dan merupakan prestasi, dalam hal ini adalah prestasi untuk tidak berbuat sesuatu (of nien to doen), artinya pihak yang satu berkewajiban untuk tidak berbuat suatu perbuatan yang diperjanjikan. Apabila salah satu pihak melakukan perbuatan yang dalam perjanjian disepakati bahwa ada kewajiban bagi dirinya untuk tidak melakukan perbuatan tersebut, maka pihak tersebut telah melakukan wanprestasi. Larangan tersebut berupa tidak diperbolehkannya seorang pekerja menerima pekerjaan atau bekerja atau membangun perusahaan yang bergerak pada bidang yang sama dengan perusahaan di mana pekerja tersebut bekerja sebelumnya. Hal ini dilarang karena adanya kekhawatiran dari perusahaan bahwa mantan pekerjanya tersebut akan membocorkan segala informasi penting perusahaan baik rahasia dagang, maupun informasi lainnya yang bersifat rahasia sehingga menimbulkan kerugian bagi perusahaan dan mengancam posisi perusahaan terhadap pesaingnya.
Di negara-negara barat seperti Amerika, Belanda, Belgia, Jerman, Spanyol, dan Perancis, klausul ini ditanggapi secara beragam. Meskipun negara-negara di atas memperbolehkan klausul ini, akan tetapi terdapat pembatasan-pembatasan yang sangat ketat seperti misalnya tidak boleh lebih dari waktu tertentu (biasanya dua tahun), tidak boleh bertentangan dengan kepentingan publik, tidak menyebabkan perlindungan yang berlebihan terhadap suatu kegiatan usaha selain rahasia dagang, serta tidak boleh menyebabkan pembatasan yang berlebihan sehingga menghambat karyawan tersebut kesulitan mencari nafkah.
Prinsip perusahaan dalam hal ini yaitu “take it or leave it”, jika pekerja tidak setuju dengan isi perjanjian kerja, maka perusahaan akan mencari pekerja lainnya yang setuju dengan isi perjanjian yang ditawarkan perusahaan. Namun, penolakan yang akan dilakukan oleh seorang pekerja atau buruh hanya dapat terjadi apabila tenaga kerja tersebut memiliki lebih dari satu keterampilan/keahlian. Sehingga, di dalam suatu perjanjian kerja yang mencantumkan non competition clause terdapat unsur terpaksa dari pihak pekerja atau buruh untuk menyutujui perjanjian kerja tersebut, yang pada akhirnya akan membatasi hak dari tenaga kerja tersebut untuk mendapatkan pekerjaan dan mendapat penghasilan sesuai dengan keahlian yang dimiliki.
Pencantuman non competition clause di Indonesia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, khususnya UU Ketenagakerjaan dan UU HAM, serta UUD NRI Tahun 1945. Dalam KUHPerdata sendiri mengatur mengenai hal yang memiliki kemiripan dengan pengertian non competition clause, yaitu suatu perjanjian yang berlaku terhadap pihaknya setelah berakhirnya suatu hubungan kerja atau dikenal dengan nama perjanjian kerja persaingan (Concutentie Beding). Pengertian perjanjian kerja persaingan ini diatur dalam Pasal 1601 x ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi:
“Suatu janji antara si majikan dan si buruh, dengan mana pihak yang belakangan ini dibatasi dalam kekuasaannya untuk setelah berakhirnya hubungan kerja melakukan pekerjaan dengan sesuatu cara, hanyalah sah apabila janji itu dibuat dalam suatu perjanjian tertulis atau dalam suatu reglemen, dengan seorang buruh yang dewasa.”
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa KUHPerdata memperbolehkan penggunaan perjanjian yang berisikan pembatasan kekuasaan terhadap suatu pihak setelah berakhirnya hubungan kerja. Namun, tentu saja pembatasan tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia casu quo UU Ketenagakerjaan dan UU HAM, maupun UUD NRI Tahun 1945.
Atas perjanjian kerja yang berisi non competition clause dan memberatkan pihak pekerja dapat melakukan upaya-upaya hukum demi tercapainya kepastian hukum bagi pekerja, diantaranya:
Permohonan Penetapan Pembatalan Perjanjian.
Perjanjian kerja yang didalanya mencantumkan klasul non-kompetisi tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata yakni syarat objektif. Maka, terhadap perjanjian tersebut dapat dikatakan batal demi hukum. Namun agar memberikan kepastian hukum lebih terhadap pekerja, pekerja dapat melakukan permohonan penetapan pembatalan perjanjian walaupun perjanjian tersebut telah batal demi hukum.
Pengajuan Keberatan.
Pekerja memiliki hak untuk mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri, di mana isi dari gugatan tersebut antara lain berisi keberatan atas isi dari perjanjian kerja dan memohon kepada Hakim untuk membatalkan isi dari perjanjian kerja tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 1601 x ayat (2) BW yang menyatakan bahwa:
“Pengadilan diperbolehkan atas tuntutan buruh walaupun karena dimintanya pada pembelaannya dalam suatu perkara, meniadakan untuk seluruhnya atau sebagian suatu janji seperti itu dengan alasan bahwa dibandingkan dengan kepentingan majikan yang dilindungi itu, buruh dirugikan secara tidak adil oleh janji tersebut.”
Mengenai keberatan yang diajukan oleh pekerja ini, dapat dikategorikan sebagai perselisihan kepentingan sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PHI) yang berbunyi :
“Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.”
Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat (Pasal 3 ayat (1) UU PPHI). Jika dalam waktu 30 hari, para pihak tidak dapat menegosiasikan penyelesaian atau salah satu pihak menolak untuk melanjutkan negosiasi, salah satu atau kedua pihak dapat mengajukan sengketa kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat, dengan bukti bahwa perundingan telah gagal (Pasal 4 ayat (1) UU PPHI). Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase (Pasal 4 ayat (3) UU PPHI). Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator (Pasal 4 ayat (4) UU PPHI). Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial (Pasal 5 UU PPHI).
Non competition clause tidak termasuk sebagai “kesepakatan tertulis untuk menjaga rahasia dagang” sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 200 tentang Rahasia Dagang karena tidak memenuhi unsur “kewajiban untuk menjaga rahasia dagang”. Non competition clause berisi tentang larangan bagi mantan karyawan untuk bekerja di perusahaan dengan bidang yang sama dalam waktu tertentu setelah pemutusan hubungan kerja, bukan berisi tentang kewajiban untuk menjaga rahasia dagang. Sehingga, terhadap karyawan yang melakukan pelanggaran terhadap non competition clause tidak dapat dituntut atas perbuatan pelanggaran rahasia dagang karena pelanggaran terhadap non competition clause tidak sama dengan perbuatan pelanggaran rahasia dagang.
Model non competition clause yang terdapat asas proporsionalitas di dalamnya adalah dengan memberikan pembatasan yang logis mengenai larangan bekerja bagi mantan karyawan perusahaan pasca pemutusan hubungan kerja, pembatasan tersebut diantaranya adalah:
Wilayah geografis
Ditentukan batasan mengenai daerah atau lebih spesifik lagi perusahaan mana saja yang tidak boleh dimasuki oleh pekerja yang dikhawatirkan untuk timbulnya pembocoran rahasia dagang. Dengan pembatasan wilayah ini maka pekerja masih mempunyai kesempatan untuk bekerja di wilayah lain selain yang dilarang dalam klausul.
Pemberian kompensasi
Dalam waktu tertentu pekerja tidak diperbolehkan bekerja di perusahaan tertentu seharusnya pekerja diberikan kompensasi baik berbentuk uang ataupun bentuk lainnya. Agar selama waktu yang ditentukan tersebut pekerja masih dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Jenis pekerjaan yang dilakukan
Ditentukan secara spesifik batasan jenis pekerjaan apa yang tidak boleh dikerjakan oleh pekerja yang hendak bekerja di perusahaan lain setelah terjadinya pemutusan hubungan kerja. Agar tidak terjadinya bias, contohnya apabila seseorang bekerja di perusahaan lain dengan bidang yang sama dengan perusahaan tempat ia bekerja sebelumnya, namun ia bekerja pada posisi/jabatan/jenis pekerjaan yang berbeda apakah ia tetap tidak boleh bekerja pada perusahaan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia,Rizki. “Non-Competition Clause Dalam Perjanjian Kerja”. Jurnal Ilmiah Universitas Airlangga.
Made,I Hendra Gunawan dan I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari. Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Berkaitan Dengan Adanya Non Competition Clause Dalam Sebuah Perjanjian Kerja. Jurnal Ilmiah Universitas Udayana.
Nur, Rizki Annisa dkk. “Urgensi Kontrak Kerja Yang Berkeadilan Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Rahasia Dagang”. Masalah-Masalah Hukum. Jilid 47 No.4, Oktober 2018.
Sutarko, Ria dan Sudjana.”Klausul Non-Kompetisi Dalam Perjanjian Kerja Dikaitkan Dengan Prinsip Kerahasiaan Perusahaan Dalam Perspektif Hak Untuk Memilih Pekerjaan Berdasarkan Hukum Positif Indonesia”. Al Amwal: Vol. 1, No. 1, Agustus 2018
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. 2003. Jakarta: PT.Pradnya Paramita.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Website
Chandra Kurniawan dalam artikel “Menyoal Non-Competition Clause dalam Perjanjian Kerja”. www.hukumonline.com. dikunjungi pada 27 Agustus 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar