Oleh
Oji
Jefri Saputra
Fakultas
Hukum Unsoed
E1A017189
081228545886
Strategi
Pembiayaan Pendidikan Tinggi
UUD 1945 menetapkan salah satu
kewajiban konstitusional negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam
rangka melaksanakan cita-cita nasional tersebut PT mempunyai tugas amat luhur
dan menjadi harapan para warga bangsa. PT tidak saja dipandang mampu menentukan
kemajuan dan masa depan bangsa melalui peningkatan kinerja ekonomi nasional,
tetapi juga diharapkan mampu menciptakan keadilan sosial melalui akses ke
perguruan tinggi. Pembiayaan untuk peenyediaan layanan pendidikan tinggi selama
ini didukung oleh APBN yang jumlahnya masih belum cukup memadai, yaitu sekitar
20 persen dari total pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah tersebut
adalah untuk subsidi biaya pendidikan tinggi sebesar 80-85 persen dari total
biaya pendidikan per mahasiswa.
Namun sekarang, kondisi keuangan pemerintah
tidak setebal dulu, padahal untuk menmpertahankan standar mutu nasional dan
peningkatan akses PT perlu dukungan dana yang semakin besar. Pilihan yang
dilematis sekarang harus dibuat oleh Pemerintah. Apakah kebijakan status-quo dilanjutkan dengan
menyediakan subsidi seadanya sebesar Rp. 6,2 juta per orang untuk semua
mahasiswa dengan konsekuensi PT tidak mampu mempertahankan mutu akademik dan
akses semakin timpang? Atau, beri PT kemandirian untuk melakukan strategi
pembiayaan yang lebih rasional sehingga dapat meningkatkan mutu, meningkatkan
tingkat partisipasi PT menjadi 20 persen pada 2018, serta peningkatan akses
kelompok masyarakat kurang mampu ke PT berkualitas ?
Resep Prof.
Nicholas Barr
Ternyata Indonesia bukan
satu-satunya bangsa yang menghadapi kondisi dilematis ini. Bangsa Inggris juga
sedang menghadapi masalah pendidikan yang sama yakni, merosotnya kualitas
akademik dan rendahnya akses golongan ekonomi lemah ke perguruan tinggi. Prof.
Nicholas Barr, profesor ekonomi publik dari
London School of Economics(LSE), mengajukan resep cukup menarik untuk
dipelajari. Versi ringkas pikiran Prof. Barr sudah diterbitkan di harian The Guardian edisi Juni 12, 2003 dengan
judul “How best to widen university access – by abolishing fees as Tories
suggest, or by enhancing loans, as the government plans”? Versi lebih lengkap
diterbitkan dalam bentuk white paper berjudul “Financing Higher Education: Comparing
the Options” yang disusunnya untuk Partai Buruh yang sedang berkuasa di
Inggris. Menjelang Pemilu tahun 2004, salah satu agenda politik yang dipilih
oleh dua partai yang sedang bersaing keras berebut dukungan publik Inggris
adalah isu kemerosotan mutu dan terbatasnya akses golongan lemah ke perguruan
tinggi.
Partai Torries, yang merupakan
partai oposisi, berjanji akan meningkatkan akses golongan kurang mampu dengan
memberi subsidi penuh kepada mahasiswa. Sebaliknya, Partai Buruh yang sedang
berkuasa, menjanjikan akan meningkatkan akses golongan kurang mampu melalui
pembayaran yang ditangguhkan (deferred
payments). Sederhananya, para mahasiswa dari keluarga mampu boleh kuliah
dulu dan membayar kemudian. Menurut penilaian Barr, subsidi penuh dan
pembebasan biaya pendidikan tidak selalu menyebabkan akses yang lebih adil dan
merata pada pendidikan tinggi. Menggunakan penerimaan dari pajak sebagai sumber
pembiayaan pendidikan tinggi akan menyebabkan dana untuk program lainnya
menjadi berkurang. Dalam real politics, subsidi untuk pendidikan tinggi selalu
kalah dengan sistem kesehatan nasional dan untuk membiayai pendidikan wajib dan
program pra-sekolah. Kedua, dalam pelaksanaannya subsidi di Inggris selalu
kurang menguntungkan kelompok miskin. Selama bertahun-tahun, akses keluarga
kurang yang mampu ke pendidikan tinggi hanya 15 persen, dibandingkan 81 persen
dari keluarga mampu. Sebaliknya, di Amerika yang mengikuti sistempasar, akses
keluarga kurang mampu mencapai 43 persen. Ketiga, subsidi pemerintah selalu
lebih menguntungkan kelompok yang lebih baik kondisi ekonominya. Di Inggris
cukup banyak anggota masyarakat yang mendukung rencana sistem pajak progresif.
Namun, mereka mengharapkan penerimaan pemerintah dari pajak lebih digunakan
untuk pendidikan pra-sekolah, menurunkan angka drop-outs pada SLTA, meningkatkan kualitas pendidikan kejuruan,
serta program khusus untuk anak-anak keluarga tidak mampu.
Opsi kedua, yang menjadi agenda
politik Partai Buruh, adalah usul sebaliknya. Masyarakat yang memerlukan
pendidikan tinggibermutu tinggi harus membayar biaya investasi masa depannya.
Orang yang lebih mampu harus membayar lebih tinggi dan akses ke pendidikan tinggi
dibiayai melalui pinjaman. Belajar dari kegagalan masa lalu dalam pelaksanaan student loans, Pemerintah menjamin
pembayaran kembali melalui pembayaraan pinjaman melalui potongan gaji bersamaan
dengan pemungutan pajak penghasilan. Pembayaran melalui pemotongan gaji ini
memungkinkan adanya pembayaran secara progresif. Orang yang berpendapatan
rendah mengangsur lebih rendah dan yang berpendapatan tinggi mengangsur lebih
besar. Opsi ini pada dasarnya ingin mendorong alokasi anggaran pendidikan dari
kelompok mampu yang tidak lagi menerima subsidi ke kelompok tidak mampu yang
menerima pinjaman untuk mendapatkan akses ke perguruan tinggi.
Demikianlah kiranya dapat menjelaskan gambaran umum student loans yang pernah diterapkan di
dunia. Gambaran itu menyiratkan suatu pertanyaan besar yakni Mungkinkah student loans diterapkan di Indonesia ?.
Menurut hemat penulis jawabanya adalah mungkin-mungkin saja untuk menerapkan di
Indonesia setidaknya untuk masa yang akan datang, dan sekaligus benar-benar
tidak mungkin apabila diterapkan di Indonesia. Jawaban atas kemungkinan itu
terjadi apabila pemerintah telah membentuk sistem yang baik, regulasi yang
jelas, dan pencapaian visi misi secara akurat. Kemudian masyarakat termasuk
mahasiswa yang berada di dalamnya selaku objek wajib memiliki komitmen dalam
mencapai visi misi pemerintah. Selama hal-hal itu dapat dijamin
keberlangsungannya maka, penulis berani menjamin kalau student loans akan mempercepat pembangunan SDM Indonesia melalui
jalur pendidikan. Namun, apabila yang terjadi adalah sebaliknya maka students loans merupalan hal yang tidak
akan mungkin bisa diterapkan di Indonesia karena hanya akan menimbulkan masalah
baru. Di sini penulis ingin kembali menegaskan bahwa student loans pada dasarnya sangat baik untuk memajukan pendidikan
di Indonesia, akan tetapi manakala visi misi student loans itu tidak terpenuhi maka yang terjadi justru adalah
sebaliknya yaitu penambahan beban negara. Setidaknya untuk saat ini pendidikan
tinggi Indonesia sedang menghadapi 3 tantangan yang amat berat yakni
kesenjangan mutu dibandingkan dengan PT regional ASEAN; tingkat partisipasi
terbatas, hanya 13 persen dispartitas akses antara golongan masyarakat kurang
mampu dan yang mampu; dan rendahnya efisiensi internal. Untuk mengatasi ketiga
tantangan tersebut diperlukan dukungan biaya cukup besar. Setidaknya di sini
penulis akan mengemukakan 3 solusi yang dapat dipertimbangkan oleh Pemerintah
untuk membiayai pembangunan pendidikan tinggi yang bertujuan mengatasi 3
masalah pokok sebgaimana yang dimaksud di atas.
Opsi pertama, adalah seperti opsi
yang dipilih Partai Torries di Inggris, Pemerintah memberi subsidi pendidikan
tinggi untuk semua mahasiswa yang diterima di perguruan tinggi, Untuk
merealisasikan janji politik ini perlu disediakan anggaran pendidikan tinggi
sebesar Rp. 19,9 trilyun sampai Rp. 69,4 trilyun, tergantung dari standar mutu
dan tingkat partisipasi yang hendak dicapai. Artinya diperlukan peningkatan
pengeluaran untuk pendidikan tinggi antara 3 sampai 12 kali, tergantung dari
standar mutu yang hendak dicapai. Opsi kedua, adalah Subsidi Silang dengan menerapkan
full-payment kepada keluarga mampu,
memberi subsidi penuh kepada mahasiswa dari keluarga tidak mampu, dan subsidi
50 persen kepada mahasiswa dari keluarga berpenghasilan menengah. Biaya untuk
melaksanakan opsi ini berkisar antara Rp. 11,4 trilyun sampai Rp 97,1 trilyun
bila standar mutu yang hendak dicapai adalah standar mutu PT di Malaysia dan
Singapura. Opsi ketiga, adalah Penyediaan Pinjaman Pendidikan Tinggi dengan
subsidi bunga kepada keluarga tidak mampu dan keluarga kurang mampu. Jumlah
kredit tergantung dari besarnya biaya pendidikan yang dikenakan oleh
masing-masing Universitas. Biaya yang harus disediakan Pemerintah untuk subsidi
bunga berkisar antara Rp. 798 milyar untuk standar nasional sampaiRp. 6,797
trilyun per tahun untuk kira-kira 1, 3 juta mahasiswa perguruan tinggi negeri
yang mencapaistandar mutu PT Malaysia dan Singapura. Angsuran pinjaman pokok
sebesar Rp 72 juta per mahasiswa untuk membiayai pendidikan tinggi selama 4
tahun dengan standar nasional. Dengan kata lain sistem pembayaran seperti ini
memungkinkan lulusan dengan pendapatan lebih tinggi membayar jumlah yang lebih
besar, sehingga waktu pelunasan hutangnya lebih pendek.
Menurut hemat kami Karena
peningkatan mutu pendidikan tinggi adalah agenda politik yang tidak dapat
ditawar lagi, sebaiknya Menteri Pendidikan Nasional Pemerintahan Jokowi-JK
segera memilih Opsi Ketiga untuk mengatasi kendala pembiayaan guna melaksanakan
kebijakan nasional perndidikan tinggi. Alokasi APBN yang tesedia untuk
pendidikan tinggi diperkirakan mencapai Rp. 6 – 7 trilyun per tahun. Jumlah
tersebut amat memungkinkan pelaksanaan program pembangunan pendidikan tinggi
untuk meningkatkan mutu, meningkatkan partisipasi dan meningkatkan akses
pendidikan tinggi secara berkeadilan untuk 1,4 – 1,5 juta mahasiswa. Program
ini akan mempunyai dampak positif terhadap kemajuan pendidikan Indonesia.