Laporan Kemajuan PKM-M

GAGASAN BARU DALAM WAJAH HUKUM HUKUM DI INDONSEIA (OMIBUS LAW: Oleh Ahmad Husni Ubaidillah)

GAGASAN BARU DALAM WAJAH HUKUM HUKUM DI INDONSEIA ( OMIBUS LAW )               Peraturan perundang-undangan merupakan salah satu ele...

Rabu, 04 April 2018

STUDENT LOANS DAN STRATEGI PENDIDIKAN MASA DEPAN INDONESIA



Oleh
Oji Jefri Saputra
Fakultas Hukum Unsoed
E1A017189
081228545886

Strategi Pembiayaan Pendidikan Tinggi

UUD 1945 menetapkan salah satu kewajiban konstitusional negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam rangka melaksanakan cita-cita nasional tersebut PT mempunyai tugas amat luhur dan menjadi harapan para warga bangsa. PT tidak saja dipandang mampu menentukan kemajuan dan masa depan bangsa melalui peningkatan kinerja ekonomi nasional, tetapi juga diharapkan mampu menciptakan keadilan sosial melalui akses ke perguruan tinggi. Pembiayaan untuk peenyediaan layanan pendidikan tinggi selama ini didukung oleh APBN yang jumlahnya masih belum cukup memadai, yaitu sekitar 20 persen dari total pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah tersebut adalah untuk subsidi biaya pendidikan tinggi sebesar 80-85 persen dari total biaya pendidikan per mahasiswa.
 Namun sekarang, kondisi keuangan pemerintah tidak setebal dulu, padahal untuk menmpertahankan standar mutu nasional dan peningkatan akses PT perlu dukungan dana yang semakin besar. Pilihan yang dilematis sekarang harus dibuat oleh Pemerintah. Apakah kebijakan status-quo dilanjutkan dengan menyediakan subsidi seadanya sebesar Rp. 6,2 juta per orang untuk semua mahasiswa dengan konsekuensi PT tidak mampu mempertahankan mutu akademik dan akses semakin timpang? Atau, beri PT kemandirian untuk melakukan strategi pembiayaan yang lebih rasional sehingga dapat meningkatkan mutu, meningkatkan tingkat partisipasi PT menjadi 20 persen pada 2018, serta peningkatan akses kelompok masyarakat kurang mampu ke PT berkualitas ?



Resep Prof. Nicholas Barr
Ternyata Indonesia bukan satu-satunya bangsa yang menghadapi kondisi dilematis ini. Bangsa Inggris juga sedang menghadapi masalah pendidikan yang sama yakni, merosotnya kualitas akademik dan rendahnya akses golongan ekonomi lemah ke perguruan tinggi. Prof. Nicholas Barr, profesor ekonomi publik dari London School of Economics(LSE), mengajukan resep cukup menarik untuk dipelajari. Versi ringkas pikiran Prof. Barr sudah diterbitkan di harian The Guardian edisi Juni 12, 2003 dengan judul “How best to widen university access – by abolishing fees as Tories suggest, or by enhancing loans, as the government plans”? Versi lebih lengkap diterbitkan dalam bentuk white paper berjudul “Financing Higher Education: Comparing the Options” yang disusunnya untuk Partai Buruh yang sedang berkuasa di Inggris. Menjelang Pemilu tahun 2004, salah satu agenda politik yang dipilih oleh dua partai yang sedang bersaing keras berebut dukungan publik Inggris adalah isu kemerosotan mutu dan terbatasnya akses golongan lemah ke perguruan tinggi.
Partai Torries, yang merupakan partai oposisi, berjanji akan meningkatkan akses golongan kurang mampu dengan memberi subsidi penuh kepada mahasiswa. Sebaliknya, Partai Buruh yang sedang berkuasa, menjanjikan akan meningkatkan akses golongan kurang mampu melalui pembayaran yang ditangguhkan (deferred payments). Sederhananya, para mahasiswa dari keluarga mampu boleh kuliah dulu dan membayar kemudian. Menurut penilaian Barr, subsidi penuh dan pembebasan biaya pendidikan tidak selalu menyebabkan akses yang lebih adil dan merata pada pendidikan tinggi. Menggunakan penerimaan dari pajak sebagai sumber pembiayaan pendidikan tinggi akan menyebabkan dana untuk program lainnya menjadi berkurang. Dalam real politics, subsidi untuk pendidikan tinggi selalu kalah dengan sistem kesehatan nasional dan untuk membiayai pendidikan wajib dan program pra-sekolah. Kedua, dalam pelaksanaannya subsidi di Inggris selalu kurang menguntungkan kelompok miskin. Selama bertahun-tahun, akses keluarga kurang yang mampu ke pendidikan tinggi hanya 15 persen, dibandingkan 81 persen dari keluarga mampu. Sebaliknya, di Amerika yang mengikuti sistempasar, akses keluarga kurang mampu mencapai 43 persen. Ketiga, subsidi pemerintah selalu lebih menguntungkan kelompok yang lebih baik kondisi ekonominya. Di Inggris cukup banyak anggota masyarakat yang mendukung rencana sistem pajak progresif. Namun, mereka mengharapkan penerimaan pemerintah dari pajak lebih digunakan untuk pendidikan pra-sekolah, menurunkan angka drop-outs pada SLTA, meningkatkan kualitas pendidikan kejuruan, serta program khusus untuk anak-anak keluarga tidak mampu.
Opsi kedua, yang menjadi agenda politik Partai Buruh, adalah usul sebaliknya. Masyarakat yang memerlukan pendidikan tinggibermutu tinggi harus membayar biaya investasi masa depannya. Orang yang lebih mampu harus membayar lebih tinggi dan akses ke pendidikan tinggi dibiayai melalui pinjaman. Belajar dari kegagalan masa lalu dalam pelaksanaan student loans, Pemerintah menjamin pembayaran kembali melalui pembayaraan pinjaman melalui potongan gaji bersamaan dengan pemungutan pajak penghasilan. Pembayaran melalui pemotongan gaji ini memungkinkan adanya pembayaran secara progresif. Orang yang berpendapatan rendah mengangsur lebih rendah dan yang berpendapatan tinggi mengangsur lebih besar. Opsi ini pada dasarnya ingin mendorong alokasi anggaran pendidikan dari kelompok mampu yang tidak lagi menerima subsidi ke kelompok tidak mampu yang menerima pinjaman untuk mendapatkan akses ke perguruan tinggi.
Demikianlah kiranya dapat  menjelaskan gambaran umum student loans yang pernah diterapkan di dunia. Gambaran itu menyiratkan suatu pertanyaan besar yakni Mungkinkah student loans diterapkan di Indonesia ?. Menurut hemat penulis jawabanya adalah mungkin-mungkin saja untuk menerapkan di Indonesia setidaknya untuk masa yang akan datang, dan sekaligus benar-benar tidak mungkin apabila diterapkan di Indonesia. Jawaban atas kemungkinan itu terjadi apabila pemerintah telah membentuk sistem yang baik, regulasi yang jelas, dan pencapaian visi misi secara akurat. Kemudian masyarakat termasuk mahasiswa yang berada di dalamnya selaku objek wajib memiliki komitmen dalam mencapai visi misi pemerintah. Selama hal-hal itu dapat dijamin keberlangsungannya maka, penulis berani menjamin kalau student loans akan mempercepat pembangunan SDM Indonesia melalui jalur pendidikan. Namun, apabila yang terjadi adalah sebaliknya maka students loans merupalan hal yang tidak akan mungkin bisa diterapkan di Indonesia karena hanya akan menimbulkan masalah baru. Di sini penulis ingin kembali menegaskan bahwa student loans pada dasarnya sangat baik untuk memajukan pendidikan di Indonesia, akan tetapi manakala visi misi student loans itu tidak terpenuhi maka yang terjadi justru adalah sebaliknya yaitu penambahan beban negara. Setidaknya untuk saat ini pendidikan tinggi Indonesia sedang menghadapi 3 tantangan yang amat berat yakni kesenjangan mutu dibandingkan dengan PT regional ASEAN; tingkat partisipasi terbatas, hanya 13 persen dispartitas akses antara golongan masyarakat kurang mampu dan yang mampu; dan rendahnya efisiensi internal. Untuk mengatasi ketiga tantangan tersebut diperlukan dukungan biaya cukup besar. Setidaknya di sini penulis akan mengemukakan 3 solusi yang dapat dipertimbangkan oleh Pemerintah untuk membiayai pembangunan pendidikan tinggi yang bertujuan mengatasi 3 masalah pokok sebgaimana yang dimaksud di atas.
Opsi pertama, adalah seperti opsi yang dipilih Partai Torries di Inggris, Pemerintah memberi subsidi pendidikan tinggi untuk semua mahasiswa yang diterima di perguruan tinggi, Untuk merealisasikan janji politik ini perlu disediakan anggaran pendidikan tinggi sebesar Rp. 19,9 trilyun sampai Rp. 69,4 trilyun, tergantung dari standar mutu dan tingkat partisipasi yang hendak dicapai. Artinya diperlukan peningkatan pengeluaran untuk pendidikan tinggi antara 3 sampai 12 kali, tergantung dari standar mutu yang hendak dicapai. Opsi kedua, adalah Subsidi Silang dengan menerapkan full-payment kepada keluarga mampu, memberi subsidi penuh kepada mahasiswa dari keluarga tidak mampu, dan subsidi 50 persen kepada mahasiswa dari keluarga berpenghasilan menengah. Biaya untuk melaksanakan opsi ini berkisar antara Rp. 11,4 trilyun sampai Rp 97,1 trilyun bila standar mutu yang hendak dicapai adalah standar mutu PT di Malaysia dan Singapura. Opsi ketiga, adalah Penyediaan Pinjaman Pendidikan Tinggi dengan subsidi bunga kepada keluarga tidak mampu dan keluarga kurang mampu. Jumlah kredit tergantung dari besarnya biaya pendidikan yang dikenakan oleh masing-masing Universitas. Biaya yang harus disediakan Pemerintah untuk subsidi bunga berkisar antara Rp. 798 milyar untuk standar nasional sampaiRp. 6,797 trilyun per tahun untuk kira-kira 1, 3 juta mahasiswa perguruan tinggi negeri yang mencapaistandar mutu PT Malaysia dan Singapura. Angsuran pinjaman pokok sebesar Rp 72 juta per mahasiswa untuk membiayai pendidikan tinggi selama 4 tahun dengan standar nasional. Dengan kata lain sistem pembayaran seperti ini memungkinkan lulusan dengan pendapatan lebih tinggi membayar jumlah yang lebih besar, sehingga waktu pelunasan hutangnya lebih pendek.
Menurut hemat kami Karena peningkatan mutu pendidikan tinggi adalah agenda politik yang tidak dapat ditawar lagi, sebaiknya Menteri Pendidikan Nasional Pemerintahan Jokowi-JK segera memilih Opsi Ketiga untuk mengatasi kendala pembiayaan guna melaksanakan kebijakan nasional perndidikan tinggi. Alokasi APBN yang tesedia untuk pendidikan tinggi diperkirakan mencapai Rp. 6 – 7 trilyun per tahun. Jumlah tersebut amat memungkinkan pelaksanaan program pembangunan pendidikan tinggi untuk meningkatkan mutu, meningkatkan partisipasi dan meningkatkan akses pendidikan tinggi secara berkeadilan untuk 1,4 – 1,5 juta mahasiswa. Program ini akan mempunyai dampak positif terhadap kemajuan pendidikan Indonesia.

ANALISIS KASUS TEMASEK



Analisis Kasus Temasek
Ditulis Oleh:
Oji Jefri Saputra
Kelas A
Hukum, Ilmu Hukum
E1A017189


Dalam beberapa tahun yang lalu bangsa Indonesia dihebohkan dengan kasus Temasek. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menggugat Temasek dengan alasan kelompok usaha Temasek telah melanggar Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Kepemilikan 35 persen saham di Singapore Telecomunication (Singtel Mobile) pada Telkomsel, dan 41,90 persen saham di Singapore Technologies Telemedia (STT) pada Indosat selaku anak perusahaan Temasek, dianggap telah melakukan praktik kepemilikan silang yang bertujuan untuk menciptakan iklim persaingan usaha tidak sehat. Kepemilikan silang Temasek dianggap KPPU telah menyalahi prinsip Single Economic Entity Doctrine. Tetapi meskipun demikian, ada beberapa argumen yang menyatakan ketidaksetujuan terhadap keputusan KPPU. Mereka yang tidak setuju terhadap keputusan KPPU beranggapan bahwa keputusan KPPU tersebut mengandung cacat formil. Alasannya, pemeriksaan yang dilakukan, mulai dari pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan lanjutan hingga pembacaan putusan, telah melanggar ketentuan dalam Undang-Undang No. 5/1999 tentang Larang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli) soal jangka waktu pemeriksaan. Akibatnya, terjadilah pro dan kontra terkait dengan putusan KPPU untuk menggugat Temasek.
Berikut penulis paparkan argumen yang menyatakan ketidaksetujuan terhadap KPPU. Eksaminasi terhadap putusan KPPU  No. 07/KPPU-L/2007 tentang dugaan Pelanggaran UU Anti Monopoli terkait kepemilikan silang oleh kelompok usaha Temasek Holdings, Pte. Ltd, dan praktek monopoli PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel). Delapan akademisi yang tergabung dalam majelis eksaminasi itu antara lain Ningrum Natasha Sirait (Universitas Sumatera Utara), Shidarta (Universitas Tarumanagara), Didie Sunardi (Universitas Pancasila), Fredi Harris (Universitas Indonesia), Gunawan Widjaya (Universitas Pelita Harapan), Arief Hidayat, Lapan Tukan Leonardo dan Budi Santoso (masing-masing dari Universitas Diponegoro). Selain akademisi pihak lain yang melakukan eksaminasi adalah Udin Silalahi dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Dwi Mardianto dari Indonesia Developments Monitoring (IDM). Dalam kesimpulannya majelis eksaminasi menyatakan keputusan KPPU tersebut mengandung cacat formil. Alasannya, pemeriksaan yang dilakukan, mulai dari pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan lanjutan hingga pembacaan putusan, telah melanggar ketentuan dalam Undang-Undang No. 5/1999 tentang Larang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli) soal jangka waktu pemeriksaan. Majelis mencontohkan, setelah 163 hari laporan tersebut masuk, ternyata KPPU belum membuat keputusan apapun terhadap laporan yang dilayangkan oleh FSP BUMN Bersatu pada 18 Oktober 2006. Padahal Pasal 39 Ayat (1) UU Anti Monopoli jelas mengatur KPPU wajib menetapkan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan dalam 30 hari setelah menerima laporan.
Artinya, kata majelis, paling lambat pada 17 November 2006 KPPU sudah harus menetapkan perlu pemeriksaan lanjutan atau tidak. Namun, hingga akhir Maret 2007, penetapan itu tak kunjung keluar. Majelis eksaminasi juga menyatakan KPPU salah menjatuhkan putusan dalam perkara itu karena telah melampaui kewenangannya. KPPU juga dianggap secara terang dan jelas melawan ketentuan dalam UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (dahulu UU No. 1/1995), UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, dan UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi.
            Jika KPPU menyatakan terjadi pelanggaran kepemilikan silang oleh Temasek, majelis ekseminasi justru berpendapat sebaliknya. Secara sederhana, majelis eksiminasi berpendat pemegang saham Indosat adalah Indonesia Communication Limited (ICL) dan Indonesia Communication Pte (IC), yakni 41%, sisanya pemerintah Indonesia dan publik. Dengan demikian, kalaupun ICL dan IC bersama-sama memiliki saham Indosat, keduanya bukanlah pemegang saham mayoritas. Disamping itu, ICL maupun IC bukan pemegang saham dari Telkomsel, sehingga tuduhan mengenai kepemilikan silang oleh ICL maupun IC tidaklah terbukti. Sebab, pengertian kepemilikan saham mayoritas adalah pihak yang memiliki saham lebih dari 50%. Saham Telkomsel yang dimiliki oleh Singapore Telecom Mobile Pte Ltd (STM) sebesar 35%, dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) sebesar 65%. Karena itu, STM bukan pemegang saham mayoritas di Telkomsel maupun Indosat. Maka dari itu, kata majelis, unsur mayoritas dan unsur kepemilikan silang tidak terpenuhi.
Sementara mengenai unsur pelaku usaha, majelis berpendapat, Temasek tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan Telkomsel dan PT Indosat Tbk. Majelis menilai kemampuan itu hanya dimiliki oleh pemerintah. Disamping itu STT adalah badan hukum yang didirikan di Singapura dan tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Sehingga, unsur pelaku usaha sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 huruf 5 UU Anti Monopoli tidak terpenuhi. Karena kekeliruan tersebut, majelis eksaminasi menilai putusan KPPU cacat hukum baik secara formil maupun materil, sehingga patut untuk dinyatakan batal demi hukum atau setidak-tidaknya dapat dibatalkan[1].
Demikianlah sekiranya dapat menggambarkan argumen yang tidak setuju dengan keputusan KPPU untuk menggugat pelaku usaha Temasek. Akan tetapi walaupun demikian adanya, tetapi tetap saja putusan KPPU memiliki analisis yang lebih mendalam dan komprehensif menurut hemat kami. Oleh karena itu menurut hemat kami putusan KPPU untuk menggugat Temasek adalah sudah tepat adanya. Berikut penulis paparkan analisis KPPU  dalam mengusut pelaku usaha Temasek.
Sebelum membahas kasus ini secara lebih mendalam penulis akan menjelaskan yurisdiksi KPPU terlebih dahulu. KPPU adalah lembaga yang diamanatkan untuk mengawasi pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1999 sesuai dengan Pasal 30 UU No 5 Tahun 1999. Tugas dan wewenang KPPU lebih jauh dijelaskan dalam Pasal 35 dan 36 UU No. 5 Tahun 1999. Oleh karena itu KPPU dapat melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan tugas dan kewenangannya untuk mencapai tujuan yang dikehendaki oleh UU No. 5 Tahun 1999. Subjek dari UU No. 5 Tahun 1999 adalah pelaku usaha yang didefinisikan dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun 1999. KPPU dapat meminta keterangan tidak hanya dari pelaku usaha yang merupakan subjek pengaturan UU No. 5 Tahun 1999 namun juga terhadap pihak yang bukan termasuk ke dalam kualifikasi pelaku usaha, misalnya pemerintah dan asosiasi bisnis[2].
Kewenangan yang dimiliki oleh KPPU terhadap Temasek Holdings, STT, SingTel, STTC, SingTel Mobile, AMHC, AMH, ICL dan ICPL (Kelompok Usaha Temasek) bergantung dari apakah Kelompok Usaha Temasek dapat dikualifikasikan sebagai pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun 1999. Dibawah ini adalah analisis terhadap pemenuhan unsur Pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun 1999 terhadap Kelompok Usaha Temasek. Pasal 1 butir 5 UU No. 5 Tahun 1999 memberikan definisi pelaku usaha sebagai berikut: “Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi”. Untuk mengetahui apakah Temasek, STT, STTC, AMHC, AMH, ICL, ICPL, SingTel, SingTel Mobile (selanjutnya disebut ”Kelompok Usaha Temasek”) masuk dalam kualifikasi Pelaku Usaha maka perlu dibuktikan pemenuhan unsur-unsur Pasal 1 butir 5 UU No. 5 Tahun 1999, sebagai berikut:
a.  Unsur ”setiap orang atau badan usaha” 
Bahwa Kelompok Usaha Temasek berdasarkan Anggaran Dasarnya masingmasing adalah badan usaha sehingga unsur ini terpenuhi;

b.  Unsur ”baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum”
            Kelompok Usaha Temasek berbadan hukum Singapura dan didirikan berdasarkan hukum Singapura bukan badan hukum Indonesia. Unsur ini adalah unsur alternatif, maka dalam hal ini Kelompok Usaha Temasek memenuhi unsur bukan badan hukum;

c.  Unsur ”didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
     hukum negara Republik Indonesia”
            Bahwa Kelompok Usaha Temasek didirikan dan berkedudukan di Singapura, namun sebagai suatu Kelompok Pelaku Usaha melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:
1.  Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun 1999 menggunakan pendekatan fungsional yang menekankan pada kegiatan ekonominya daripada pendekatan subjek hukum[3]. Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka bentuk badan hukum tidak material dalam menentukan suatu pelaku usaha;
2.  Pendekatan ini diterapkan dalam teori Single Economic Entity Doctrine, yang memandang hubungan induk dan dan anak perusahaan dimana anak perusahaan tidak memiliki independensi untuk menentukan arah kebijakan perusahaan sebagai satu kesatuan entitas ekonomi[4]. Derajat independensi anak perusahaan dapat dilihat dari berbagai faktor, antara lain kendali induk perusahaan terhadap direksi anak perusahaan, keuntungan yang dinikmati oleh induk perusahaan dari anak perusahaan, dan kepatuhan anak perusahaan terhadap kebijakan yang ditetapkan oleh induk perusahaan misalnya terkait dengan pemasaran dan investasi[5].
3.  Konsekuensi dari penerapan Single Economic Entity Doctrine ini adalah pelaku usaha dapat diminta pertanggungjawaban atas tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha lain dalam satu kesatuan ekonomi, meskipun pelaku usaha yang pertama beroperasi di luar yurisdiksi hukum persaingan usaha suatu negara, sehingga hukum persaingan usaha dapat bersifat ekstrateritorial[6].
Konsideran huruf c UU No. 5 Tahun 1999 menegaskan perspektif tersebut dengan menyatakan bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar. Oleh karena itu sebagai suatu prinsip umum dalam hukum persaingan, UU No. 5 Tahun 1999 memiliki yurisdiksi atas kondisi persaingan di dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, tanpa memandang siapa pun dan di mana pun pelaku usaha yang menyebabkan dampak terhadap kondisi persaingan tersebut. Terminologi “yang melakukan kegiatan“ ataupun “yang berusaha di Indonesia“ tidak serta menunjukkan bahwa pelaku usaha tersebut harus berada dalam pasar bersangkutan. Suatu perusahaan dapat melakukan kegiatan usaha di negara lain melalui pendirian atau akuisisi terhadap perusahaan yang telah ada di negara tersebut tanpa secara langsung melakukan kegiatan usaha di dalam pasar bersangkutan negara tersebut. Dengan kata lain, suatu pelaku usaha dapat mempengaruhi kondisi persaingan di dalam suatu pasar bersangkutan tanpa dia sendiri beroperasi di pasar bersangkutan tersebut. Perspektif ini terlihat pada batang tubuh UU No. 5 Tahun 1999 yang banyak menggunakan terminologi “pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha” dalam pasal-pasalnya. Kelompok pelaku usaha menurut Knud Hansen, dkk adalah[7]. “Beberapa badan usaha mandiri yang bergabung menjadi satu kesatuan ekonomi yang mandiri. Badan-badan usaha mandiri tersebut berada di bawah satu pimpinan yang sama yang memperlihatkan keluar bahwa induk perusahaan membuat perencanaan secara seragam untuk semua anak perusahaannya”. Bahwa berdasarkan fakta yang ditemukan, Indosat dan Telkomsel dikendalikan oleh Temasek melalui anak perusahaannya. Pengendalian oleh Temasek dapat terjadi karena Temasek bukanlah investor pasif pada SingTel dan STT sebagaimana juga SingTel dan STT bukan investor pasif pada Telkomsel dan Indosat. Investor pasif didefinisikan sebagai investor yang tidak memiliki hak suara atas saham yang dimilikinya, tidak diwakili dalam pengurus perusahaan, tidak memberikan arahan dalam kebijakan perusahaan, tidak mempengaruhi manajemen, tidak memiliki akses terhadap informasi perusahaan yang bersifat sensitif[8]. Di Uni Eropa, bahkan suatu investasi pasif pada pesaingnya sekalipun dapat dianggap mengurangi tingkat persaingan, terutama dalam pasar yang terkonsentrasi, sehingga melanggar hukum persaingan[9].
Pengendalian oleh Temasek juga terjadi karena Temasek berfungsi sebagai Holding Company dari keseluruhan anak-anak perusahaannya. Tujuan dari suatu Holding Company adalah untuk mengkonsentrasikan kepemilikan saham-saham dengan tujuan untuk mencapai pengaruh pada perusahaan tertentu atau cabang perusahaan tertentu atau dengan maksud untuk mengendalikannya[10]. Dari sisi penanaman modal, Kelompok Usaha Temasek dapat dilihat sebagai penanam modal asing di Indosat dan Telkomsel. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, definisi penanaman modal adalah: “segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia”. Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat (3) penanaman modal asing diartikan sebagai “kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesiayang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri”. Mengacu pada ketentuan tersebut, penanaman modal yang dilakukan oleh Kelompok Usaha Temasek adalah bertujuan untuk melakukan kegiatan usaha di wilayah Republik Indonesia. Berdasarkan analisis di atas, dengan demikian unsur ini terpenuhi.
d.  Unsur ”baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian” 
Sebagai Kelompok Usaha, Temasek melakukan kegiatan usaha dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia secara bersama-sama dengan pihak lain melalui perjanjian. Kelompok Usaha Temasek mengendalikan Indosat bersama-sama dengan pemegang saham lainnya yang masing-masing hak dan kewajibannya diatur dalam Anggaran Dasar Indosat. Hal yang sama juga berlaku dalam Telkomsel di mana Kelompok Usaha Temasek bersama-sama dengan pemegang saham lainnya mengendalikan Telkomsel sesuai dengan ketentuan di dalam Anggaran Dasar Telkomsel. Dengan demikian unsur ini terpenuhi.

e.  Unsur ”menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi”
Telkomsel adalah operator seluler terbesar di Indonesia sedangkan Indosat memiliki unit usaha beragam di bidang teknologi telekomunikasi di Indonesia, antara lain jasa teleponi, jasa selular, dan jasa multimedia. Dengan demikian Kelompok Usaha Temasek memenuhi unsur ini.

            Analisis di atas pada intinya adalah Temasek memiliki saham mayoritas di Indonesia. Akan tetapi pengertian mayoritas juga berbeda-beda dari berbagai sumber, oleh karena itu penulis menggunakan beberapa interprestasi  mengenai saham mayoritas. Saham sesuai dengan ketentuan Pasal 46 UU No 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas[11] dapat diklasifikasikan kepada beberapa jenis dengan hak yang masingmasing berbeda. Pasal 27 UU No 5 Tahun 1999 tidak menjelaskan jenis saham yang dimaksud dalam terminolgi “saham mayoritas”. Oleh karena itu pengertian saham mayoritas pada Pasal 27 UU No 5 Tahun 1999 memerlukan penafsiran lebih lanjut[12]. Saham menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga, Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta, 2005 adalah: 1. Bagian; andil; sero. 2. Ek Surat bukti pemilikan bagian modal perseroan terbatas yang memberikan hak atas deviden dan lain-lain menurut besar kecilnya modal yang disetor; 3. hak yang dimiliki orang (pemegang saham) terhadap perusahaan berkat penyerahan bagian modal sehingga dianggap berbagi[13]. KBBI tidak menerangkan pengertian mengenai saham mayoritas dan hanya memberikan pengertian mengenai mayoritas, yaitu: jumlah orang terbanyak yang memperlihatkan ciri tertentu menurut suatu patokan dibandingkan dengan jumlah yang lain yang tidak memperlihatkan ciri itu[14]. Berdasarkan gabungan pengertian saham dan mayoritas berdasarkan KBBI tersebut maka saham mayoritas adalah bukti pemilikan modal perseroan terbatas dengan jumlah terbanyak yang memperlihatkan  ciri tertentu menurut suatu patokan dibandingkan dengan jumlah lain yang tidak memperlihatkan ciri itu. Pengertian ini tidak memberikan tafsiran yang jelas mengenai saham mayoritas karena pengertianmayoritas di KBBI mengacu pada orang dan adanya “patokan tertentu” yang juga tidak definitif.
Demikianlah analisis komprehensif dari pihak KPPU. Kiranya di sini penulis ingin menegaskan bahwa, memang eksaminasi atas kasus Temasek tidak salah sepenuhnya, akan tetapi kalau dilihat secara lebih cermat, lebih komprehensif melalui penelitian formal yuridis kiranya putusan KPPU memang sudah tepat, benar, baik, dan sesuai dengan substansi, prosedur, dan kewenangan yang dimiliki KPPU. Oleh karena itu secara hukum putusan KPPU untuk menggugat pelaku usaha Temasek telah.

 


 

DAFTAR PUSTAKA


Dubrow ,Jon B.2001.Challenging The Economic Insentives Analysis of Competitive   
Effects in Acquisitions of Passive Minority Equity Interests.Antitrust Law journal, hal.120-121

Ezrachi ,Ariel & David Gilo. EC Competition Law and The Regulation of Passive
Investment Among Competitiors. Oxford Journal of Legal Studies, hlm. 329

Hansen, Knud & dkk.2002. Undang-undang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.Jakarta: Katalis, 2002, hal. 50 & 52

Jones, Alison & Brenda Sufrin.2004. EC Competition Law, Text, Cases, and Materials.
Oxford University Press, New York, hal. 123,126 & 135

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga.2005.DepartemenPendidikan Nasional.
Jakarta:Balai Pustaka, hal. 977& 725

KPPU.2008.  Eksaminasi terhadap Putusan KPPU terkait Gugatan Temasek,

Purba, Hasim.Tinjauan terhadap Holding Company, Trust, Cartel dan Concern.

UU No. 5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli Pasal 36 huruf f & h

UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas Pasal 46











[1] Lihat Web Hukum Online, Eksaminasi terhadap Putusan KPPU terkait Gugatan Temasek, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18186/dalam-eksaminasi-putusan-kppu-soal-temasek-dinilai-cacat-hukum


[2] Lihat Pasal 36 huruf f dan h UU No. 5 Tahun 1999
[3] Lihat Knud Hansen dkk., Undang-undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Katalis, Jakarta, 2002, hal. 50
[4] Lihat Alison Jones and Brenda Sufrin, EC Competition Law, Text, Cases, and Materials, Oxford University Press, New York, 2004 hal. 123
[5] Ibid., hal 135
[6] Single Economic Entity Doctrine menjadi dasar bagi European Community untuk menerapkan hukum
persaingan usaha terhadap pelaku usaha yang beroperasi di luar wilayah EC, lihat Lihat Alison Jones and
Brenda Sufrin, op.cithal. 126
[7] Knud Hansen dkk., op.cit, hal. 52

[8] Lihat Jon B. Dubrow, Challenging The Economic Insentives Analysis of Competitive Effects in Acquisitions of Passive Minority Equity Interests, Antitrust Law journal, 2001, hlm 120-121
[9] Lihat Ariel Ezrachi dan David Gilo, EC Competition Law and The Regulation of Passive Investment Among Competitiors, Oxford Journal of Legal Studies, hlm. 329
[10] Lihat Hasim Purba, Tinjauan terhadap Holding Company, Trust, Cartel dan Concern, http://www.
www.library.usu.ac.id
[11] Pasal 46 UUPT selengkapnya adalah:
(1)Anggaran Dasar menetapkan 1 (satu) klasifikasi saham atau lebih.
(2)Setiap saham dalam klasifikasi yang sama memberikan kepada pemegangnya hak yang sama.
(3)Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) klasifikasi saham, maka Anggaran Dasar menetapkan 1 (satu)
klasifikasi sebagai saham biasa.
(4)Selain klasifikasi saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), dalam Anggaran Dasar dapat ditetapkan 1
(satu) klasifikasi saham atau lebih:
 a.Dengan hak suara khusus, bersyarat, terbatas, atau tanpa hak suara; 
 b.yang setelah jangka waktu tertentu dapat ditarik kembali atau dapat ditukar dengan klasifikasi   saham lain;
                c.yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima pembagian dividen secara
 kumulatif atau non kumulatif; dan atau
d.yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk   menerima lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian dividen dan sisa   kekayaan perseroan dalam likuidasi. 
[12] Terutama jika berkaitan dengan perusahaan yang sahamnya diperdagangkan melalui pasar modal yang
besarannya dapat berubah-ubah setiap hari. Perlunya penafsiran terhadap terminologi “saham mayoritas” juga
diusulkan oleh Knud Hansen dkk. dalam buku “Undang-undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat”, Katalis, Jakarta, 2002, hal. 352.
[13] Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, DepartemenPendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta, 2005
hal. 977
[14] Ibid. hal 725