Analisis
Kasus Temasek
Ditulis Oleh:
Oji Jefri
Saputra
Kelas A
Hukum, Ilmu
Hukum
E1A017189
Dalam beberapa tahun
yang lalu bangsa Indonesia dihebohkan dengan kasus Temasek. Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menggugat Temasek dengan alasan kelompok usaha
Temasek telah melanggar Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Kepemilikan
35 persen saham di Singapore Telecomunication (Singtel Mobile) pada Telkomsel,
dan 41,90 persen saham di Singapore Technologies Telemedia (STT) pada Indosat
selaku anak perusahaan Temasek, dianggap telah melakukan praktik kepemilikan
silang yang bertujuan untuk menciptakan iklim persaingan usaha tidak sehat.
Kepemilikan silang Temasek dianggap KPPU telah menyalahi prinsip Single Economic Entity Doctrine. Tetapi
meskipun demikian, ada beberapa argumen yang menyatakan ketidaksetujuan
terhadap keputusan KPPU. Mereka yang tidak setuju terhadap keputusan KPPU
beranggapan bahwa keputusan KPPU tersebut mengandung cacat formil. Alasannya,
pemeriksaan yang dilakukan, mulai dari pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan
lanjutan hingga pembacaan putusan, telah melanggar ketentuan dalam
Undang-Undang No. 5/1999 tentang Larang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat (UU Anti Monopoli) soal jangka waktu pemeriksaan. Akibatnya,
terjadilah pro dan kontra terkait dengan putusan KPPU untuk menggugat Temasek.
Berikut penulis paparkan argumen
yang menyatakan ketidaksetujuan terhadap KPPU. Eksaminasi terhadap putusan
KPPU No. 07/KPPU-L/2007 tentang dugaan
Pelanggaran UU Anti Monopoli terkait kepemilikan silang oleh kelompok usaha
Temasek Holdings, Pte. Ltd, dan praktek monopoli PT Telekomunikasi Selular
(Telkomsel). Delapan akademisi yang tergabung dalam majelis eksaminasi itu
antara lain Ningrum Natasha Sirait (Universitas Sumatera Utara), Shidarta
(Universitas Tarumanagara), Didie Sunardi (Universitas Pancasila), Fredi Harris
(Universitas Indonesia), Gunawan Widjaya (Universitas Pelita Harapan), Arief
Hidayat, Lapan Tukan Leonardo dan Budi Santoso (masing-masing dari Universitas
Diponegoro). Selain akademisi pihak lain yang melakukan eksaminasi adalah Udin
Silalahi dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Dwi
Mardianto dari Indonesia Developments Monitoring (IDM). Dalam kesimpulannya
majelis eksaminasi menyatakan keputusan KPPU tersebut mengandung cacat formil.
Alasannya, pemeriksaan yang dilakukan, mulai dari pemeriksaan pendahuluan,
pemeriksaan lanjutan hingga pembacaan putusan, telah melanggar ketentuan dalam
Undang-Undang No. 5/1999 tentang Larang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat (UU Anti Monopoli) soal jangka waktu pemeriksaan. Majelis
mencontohkan, setelah 163 hari laporan tersebut masuk, ternyata KPPU belum
membuat keputusan apapun terhadap laporan yang dilayangkan oleh FSP BUMN
Bersatu pada 18 Oktober 2006. Padahal Pasal 39 Ayat (1) UU Anti Monopoli jelas
mengatur KPPU wajib menetapkan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan
dalam 30 hari setelah menerima laporan.
Artinya, kata majelis, paling lambat pada 17 November
2006 KPPU sudah harus menetapkan perlu pemeriksaan lanjutan atau tidak. Namun,
hingga akhir Maret 2007, penetapan itu tak kunjung keluar. Majelis eksaminasi
juga menyatakan KPPU salah menjatuhkan putusan dalam perkara itu karena telah
melampaui kewenangannya. KPPU juga dianggap secara terang dan jelas melawan
ketentuan dalam UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (dahulu UU No.
1/1995), UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, dan UU No. 36/1999 tentang
Telekomunikasi.
Jika
KPPU menyatakan terjadi pelanggaran kepemilikan silang oleh Temasek, majelis
ekseminasi justru berpendapat sebaliknya. Secara sederhana, majelis eksiminasi
berpendat pemegang saham Indosat adalah Indonesia Communication Limited (ICL)
dan Indonesia Communication Pte (IC), yakni 41%, sisanya pemerintah Indonesia
dan publik. Dengan demikian, kalaupun ICL dan IC bersama-sama memiliki saham
Indosat, keduanya bukanlah pemegang saham mayoritas. Disamping itu, ICL maupun
IC bukan pemegang saham dari Telkomsel, sehingga tuduhan mengenai kepemilikan
silang oleh ICL maupun IC tidaklah terbukti. Sebab, pengertian kepemilikan
saham mayoritas adalah pihak yang memiliki saham lebih dari 50%. Saham
Telkomsel yang dimiliki oleh Singapore Telecom Mobile Pte Ltd (STM) sebesar
35%, dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) sebesar 65%. Karena itu, STM
bukan pemegang saham mayoritas di Telkomsel maupun Indosat. Maka dari itu, kata
majelis, unsur mayoritas dan unsur kepemilikan silang tidak terpenuhi.
Sementara mengenai unsur pelaku
usaha, majelis berpendapat, Temasek tidak memiliki kemampuan untuk
mengendalikan Telkomsel dan PT Indosat Tbk. Majelis menilai kemampuan itu hanya
dimiliki oleh pemerintah. Disamping itu STT adalah badan hukum yang didirikan
di Singapura dan tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Sehingga, unsur
pelaku usaha sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 huruf 5 UU Anti Monopoli
tidak terpenuhi. Karena kekeliruan tersebut, majelis eksaminasi menilai putusan
KPPU cacat hukum baik secara formil maupun materil, sehingga patut untuk
dinyatakan batal demi hukum atau setidak-tidaknya dapat dibatalkan[1].
Demikianlah sekiranya dapat
menggambarkan argumen yang tidak setuju dengan keputusan KPPU untuk menggugat
pelaku usaha Temasek. Akan tetapi walaupun demikian adanya, tetapi tetap saja
putusan KPPU memiliki analisis yang lebih mendalam dan komprehensif menurut
hemat kami. Oleh karena itu menurut hemat kami putusan KPPU untuk menggugat
Temasek adalah sudah tepat adanya. Berikut penulis paparkan analisis KPPU dalam mengusut pelaku usaha Temasek.
Sebelum membahas kasus ini secara
lebih mendalam penulis akan menjelaskan yurisdiksi KPPU terlebih dahulu. KPPU
adalah lembaga yang diamanatkan untuk mengawasi pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1999
sesuai dengan Pasal 30 UU No 5 Tahun 1999. Tugas dan wewenang KPPU lebih jauh
dijelaskan dalam Pasal 35 dan 36 UU No. 5 Tahun 1999. Oleh karena itu KPPU
dapat melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan tugas dan kewenangannya untuk
mencapai tujuan yang dikehendaki oleh UU No. 5 Tahun 1999. Subjek dari UU No. 5
Tahun 1999 adalah pelaku usaha yang didefinisikan dalam Pasal 1 angka 5 UU No.
5 Tahun 1999. KPPU dapat meminta keterangan tidak hanya dari pelaku usaha yang
merupakan subjek pengaturan UU No. 5 Tahun 1999 namun juga terhadap pihak yang
bukan termasuk ke dalam kualifikasi pelaku usaha, misalnya pemerintah dan
asosiasi bisnis[2].
Kewenangan
yang dimiliki oleh KPPU terhadap Temasek Holdings, STT, SingTel, STTC, SingTel
Mobile, AMHC, AMH, ICL dan ICPL (Kelompok Usaha Temasek) bergantung dari apakah
Kelompok Usaha Temasek dapat dikualifikasikan sebagai pelaku usaha sesuai
dengan ketentuan Pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun 1999. Dibawah ini adalah
analisis terhadap pemenuhan unsur Pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun 1999 terhadap Kelompok
Usaha Temasek. Pasal 1 butir 5 UU No. 5 Tahun 1999 memberikan definisi pelaku
usaha sebagai berikut: “Setiap orang
perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi”.
Untuk mengetahui apakah Temasek, STT, STTC, AMHC, AMH, ICL, ICPL, SingTel,
SingTel Mobile (selanjutnya disebut ”Kelompok Usaha Temasek”) masuk dalam
kualifikasi Pelaku Usaha maka perlu dibuktikan pemenuhan unsur-unsur Pasal 1
butir 5 UU No. 5 Tahun 1999, sebagai berikut:
a. Unsur ”setiap orang atau badan usaha”
Bahwa
Kelompok Usaha Temasek berdasarkan Anggaran Dasarnya masingmasing adalah badan
usaha sehingga unsur ini terpenuhi;
b. Unsur ”baik yang berbentuk badan hukum atau
bukan badan hukum”
Kelompok Usaha Temasek berbadan hukum
Singapura dan didirikan berdasarkan hukum Singapura bukan badan hukum
Indonesia. Unsur ini adalah unsur alternatif, maka dalam hal ini Kelompok Usaha
Temasek memenuhi unsur bukan badan hukum;
c. Unsur
”didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum
negara Republik Indonesia”
Bahwa
Kelompok Usaha Temasek didirikan dan berkedudukan di Singapura, namun sebagai
suatu Kelompok Pelaku Usaha melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:
1.
Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun 1999 menggunakan
pendekatan fungsional yang menekankan pada kegiatan ekonominya daripada
pendekatan subjek hukum[3].
Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka bentuk badan hukum tidak material
dalam menentukan suatu pelaku usaha;
2.
Pendekatan ini diterapkan dalam teori Single Economic Entity Doctrine, yang memandang hubungan induk dan
dan anak perusahaan dimana anak perusahaan tidak memiliki independensi untuk
menentukan arah kebijakan perusahaan sebagai satu kesatuan entitas ekonomi[4].
Derajat independensi anak perusahaan dapat dilihat dari berbagai faktor, antara
lain kendali induk perusahaan terhadap direksi anak perusahaan, keuntungan yang
dinikmati oleh induk perusahaan dari anak perusahaan, dan kepatuhan anak
perusahaan terhadap kebijakan yang ditetapkan oleh induk perusahaan misalnya
terkait dengan pemasaran dan investasi[5].
3.
Konsekuensi dari penerapan Single
Economic Entity Doctrine ini adalah pelaku usaha dapat diminta pertanggungjawaban
atas tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha lain dalam satu kesatuan
ekonomi, meskipun pelaku usaha yang pertama beroperasi di luar yurisdiksi hukum
persaingan usaha suatu negara, sehingga hukum persaingan usaha dapat bersifat ekstrateritorial[6].
Konsideran huruf c UU No. 5 Tahun 1999 menegaskan perspektif tersebut dengan
menyatakan bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam
situasi persaingan yang sehat dan wajar. Oleh karena itu sebagai suatu prinsip
umum dalam hukum persaingan, UU No. 5 Tahun 1999 memiliki yurisdiksi atas kondisi
persaingan di dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, tanpa memandang
siapa pun dan di mana pun pelaku usaha yang menyebabkan dampak terhadap kondisi
persaingan tersebut. Terminologi “yang melakukan kegiatan“ ataupun “yang
berusaha di Indonesia“ tidak serta menunjukkan bahwa pelaku usaha tersebut
harus berada dalam pasar bersangkutan. Suatu perusahaan dapat melakukan kegiatan
usaha di negara lain melalui pendirian atau akuisisi terhadap perusahaan yang
telah ada di negara tersebut tanpa secara langsung melakukan kegiatan usaha di
dalam pasar bersangkutan negara tersebut. Dengan kata lain, suatu pelaku usaha
dapat mempengaruhi kondisi persaingan di dalam suatu pasar bersangkutan tanpa
dia sendiri beroperasi di pasar bersangkutan tersebut. Perspektif ini terlihat
pada batang tubuh UU No. 5 Tahun 1999 yang banyak menggunakan terminologi “pelaku
usaha atau kelompok pelaku usaha” dalam pasal-pasalnya. Kelompok pelaku usaha
menurut Knud Hansen, dkk adalah[7].
“Beberapa badan usaha mandiri yang
bergabung menjadi satu kesatuan ekonomi yang mandiri. Badan-badan usaha mandiri
tersebut berada di bawah satu pimpinan yang sama yang memperlihatkan keluar
bahwa induk perusahaan membuat perencanaan secara seragam untuk semua anak
perusahaannya”. Bahwa berdasarkan fakta yang ditemukan, Indosat dan
Telkomsel dikendalikan oleh Temasek melalui anak perusahaannya. Pengendalian
oleh Temasek dapat terjadi karena Temasek bukanlah investor pasif pada SingTel
dan STT sebagaimana juga SingTel dan STT bukan investor pasif pada Telkomsel
dan Indosat. Investor pasif didefinisikan sebagai investor yang tidak memiliki
hak suara atas saham yang dimilikinya, tidak diwakili dalam pengurus
perusahaan, tidak memberikan arahan dalam kebijakan perusahaan, tidak
mempengaruhi manajemen, tidak memiliki akses terhadap informasi perusahaan yang
bersifat sensitif[8].
Di Uni Eropa, bahkan suatu investasi pasif pada pesaingnya sekalipun dapat dianggap
mengurangi tingkat persaingan, terutama dalam pasar yang terkonsentrasi, sehingga
melanggar hukum persaingan[9].
Pengendalian oleh Temasek juga terjadi karena
Temasek berfungsi sebagai Holding Company
dari keseluruhan anak-anak perusahaannya. Tujuan dari suatu Holding Company adalah untuk
mengkonsentrasikan kepemilikan saham-saham dengan tujuan untuk mencapai
pengaruh pada perusahaan tertentu atau cabang perusahaan tertentu atau dengan
maksud untuk mengendalikannya[10].
Dari sisi penanaman modal, Kelompok Usaha Temasek dapat dilihat sebagai penanam
modal asing di Indosat dan Telkomsel. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang
No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, definisi penanaman modal adalah: “segala bentuk kegiatan menanam modal, baik
oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan
usaha di wilayah negara Republik Indonesia”. Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat
(3) penanaman modal asing diartikan sebagai “kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik
Indonesiayang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal
asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri”.
Mengacu pada ketentuan tersebut, penanaman modal yang dilakukan oleh Kelompok
Usaha Temasek adalah bertujuan untuk melakukan kegiatan usaha di wilayah
Republik Indonesia. Berdasarkan analisis di atas, dengan demikian unsur ini
terpenuhi.
d. Unsur ”baik
sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian”
Sebagai Kelompok Usaha, Temasek melakukan kegiatan
usaha dalam wilayah hukum
negara Republik Indonesia secara bersama-sama dengan pihak lain melalui perjanjian.
Kelompok Usaha Temasek mengendalikan Indosat bersama-sama dengan pemegang saham
lainnya yang masing-masing hak dan kewajibannya diatur dalam Anggaran Dasar
Indosat. Hal yang sama juga berlaku dalam Telkomsel di mana Kelompok Usaha
Temasek bersama-sama dengan pemegang saham lainnya mengendalikan Telkomsel
sesuai dengan ketentuan di dalam Anggaran Dasar Telkomsel. Dengan demikian
unsur ini terpenuhi.
e. Unsur ”menyelenggarakan
berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi”
Telkomsel adalah operator seluler terbesar di
Indonesia sedangkan Indosat memiliki unit usaha beragam di bidang teknologi
telekomunikasi di Indonesia, antara lain jasa teleponi, jasa selular, dan jasa
multimedia. Dengan demikian Kelompok Usaha Temasek memenuhi unsur ini.
Analisis
di atas pada intinya adalah Temasek memiliki saham mayoritas di Indonesia. Akan
tetapi pengertian mayoritas juga berbeda-beda dari berbagai sumber, oleh karena
itu penulis menggunakan beberapa interprestasi
mengenai saham mayoritas. Saham sesuai dengan ketentuan Pasal 46 UU No 1
Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas[11]
dapat diklasifikasikan kepada beberapa jenis dengan hak yang masingmasing
berbeda. Pasal 27 UU No 5 Tahun 1999 tidak menjelaskan jenis saham yang
dimaksud dalam terminolgi “saham mayoritas”. Oleh karena itu pengertian saham
mayoritas pada Pasal 27 UU No 5 Tahun 1999 memerlukan penafsiran lebih lanjut[12].
Saham menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga, Departemen Pendidikan
Nasional, Balai Pustaka, Jakarta, 2005 adalah: 1. Bagian; andil; sero. 2. Ek
Surat bukti pemilikan bagian modal perseroan terbatas yang memberikan hak atas
deviden dan lain-lain menurut besar kecilnya modal yang disetor; 3. hak yang dimiliki
orang (pemegang saham) terhadap perusahaan berkat penyerahan bagian modal
sehingga dianggap berbagi[13].
KBBI tidak menerangkan pengertian mengenai saham mayoritas dan hanya memberikan
pengertian mengenai mayoritas, yaitu: jumlah orang terbanyak yang
memperlihatkan ciri tertentu menurut suatu patokan dibandingkan dengan jumlah
yang lain yang tidak memperlihatkan ciri itu[14].
Berdasarkan gabungan pengertian saham dan mayoritas
berdasarkan KBBI tersebut maka saham mayoritas adalah bukti pemilikan modal
perseroan terbatas dengan jumlah terbanyak yang memperlihatkan ciri tertentu menurut suatu patokan dibandingkan
dengan jumlah lain yang tidak memperlihatkan ciri itu. Pengertian ini tidak
memberikan tafsiran yang jelas mengenai saham mayoritas karena pengertianmayoritas
di KBBI mengacu pada orang dan adanya “patokan tertentu” yang juga tidak
definitif.
Demikianlah analisis komprehensif dari pihak
KPPU. Kiranya di sini penulis ingin menegaskan bahwa, memang eksaminasi atas
kasus Temasek tidak salah sepenuhnya, akan tetapi kalau dilihat secara lebih
cermat, lebih komprehensif melalui penelitian formal yuridis kiranya putusan
KPPU memang sudah tepat, benar, baik, dan sesuai dengan substansi, prosedur,
dan kewenangan yang dimiliki KPPU. Oleh karena itu secara hukum putusan KPPU
untuk menggugat pelaku usaha Temasek telah.
DAFTAR PUSTAKA
Dubrow
,Jon B.2001.Challenging The Economic
Insentives Analysis of Competitive
Effects
in Acquisitions of Passive Minority Equity Interests.Antitrust Law
journal, hal.120-121
Ezrachi
,Ariel & David Gilo. EC Competition
Law and The Regulation of Passive
Investment
Among Competitiors.
Oxford Journal of Legal Studies, hlm. 329
Hansen, Knud & dkk.2002. Undang-undang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.Jakarta:
Katalis, 2002, hal. 50 & 52
Jones, Alison & Brenda
Sufrin.2004. EC Competition Law, Text, Cases,
and Materials.
Oxford University
Press, New York, hal. 123,126 & 135
Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga.2005.DepartemenPendidikan
Nasional.
Jakarta:Balai Pustaka, hal. 977&
725
KPPU.2008.
Eksaminasi
terhadap Putusan KPPU terkait Gugatan Temasek,
Purba, Hasim.Tinjauan terhadap Holding Company, Trust, Cartel dan Concern.
http://www.www.library.usu.ac.id
UU No. 5 Tahun 1999 tentang Anti
Monopoli Pasal 36 huruf f & h
UU No. 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas Pasal 46
[1]
Lihat Web Hukum Online, Eksaminasi terhadap Putusan KPPU terkait Gugatan
Temasek, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18186/dalam-eksaminasi-putusan-kppu-soal-temasek-dinilai-cacat-hukum
[2] Lihat Pasal 36 huruf f dan h UU
No. 5 Tahun 1999
[3] Lihat Knud Hansen dkk.,
Undang-undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
Katalis, Jakarta, 2002, hal. 50
[4] Lihat Alison Jones and Brenda
Sufrin, EC Competition Law, Text, Cases, and Materials, Oxford University
Press, New York, 2004 hal. 123
[5] Ibid., hal 135
[6]
Single Economic Entity
Doctrine menjadi dasar bagi European Community untuk menerapkan hukum
persaingan usaha terhadap pelaku usaha yang
beroperasi di luar wilayah EC, lihat Lihat Alison Jones and
Brenda
Sufrin, op.cithal. 126
[7] Knud Hansen dkk., op.cit, hal.
52
[8] Lihat Jon B. Dubrow, Challenging
The Economic Insentives Analysis of Competitive Effects in Acquisitions of
Passive Minority Equity Interests, Antitrust Law journal, 2001, hlm 120-121
[9] Lihat Ariel Ezrachi dan David
Gilo, EC Competition Law and The Regulation of Passive Investment Among
Competitiors, Oxford Journal of Legal Studies, hlm. 329
[10] Lihat Hasim Purba, Tinjauan
terhadap Holding Company, Trust, Cartel dan Concern, http://www.
www.library.usu.ac.id
[11] Pasal 46 UUPT selengkapnya
adalah:
(1)Anggaran Dasar menetapkan 1 (satu) klasifikasi
saham atau lebih.
(2)Setiap saham dalam klasifikasi yang sama
memberikan kepada pemegangnya hak yang sama.
(3)Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu)
klasifikasi saham, maka Anggaran Dasar menetapkan 1 (satu)
klasifikasi sebagai saham biasa.
(4)Selain klasifikasi saham sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3), dalam Anggaran Dasar dapat ditetapkan 1
(satu) klasifikasi saham atau lebih:
a.Dengan hak suara khusus, bersyarat,
terbatas, atau tanpa hak suara;
b.yang setelah jangka waktu tertentu dapat
ditarik kembali atau dapat ditukar dengan klasifikasi saham lain;
c.yang memberikan hak kepada
pemegangnya untuk menerima pembagian dividen secara
kumulatif atau non kumulatif; dan atau
d.yang memberikan hak kepada
pemegangnya untuk menerima lebih dahulu
dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian dividen dan sisa kekayaan perseroan dalam likuidasi.
[12] Terutama jika berkaitan dengan
perusahaan yang sahamnya diperdagangkan melalui pasar modal yang
besarannya
dapat berubah-ubah setiap hari. Perlunya penafsiran terhadap terminologi “saham
mayoritas” juga
diusulkan
oleh Knud Hansen dkk. dalam buku “Undang-undang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan
Usaha
Tidak Sehat”, Katalis, Jakarta, 2002, hal. 352.
[13] Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Ketiga, DepartemenPendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta, 2005
hal.
977
[14] Ibid. hal 725
Tidak ada komentar:
Posting Komentar