Laporan Kemajuan PKM-M

GAGASAN BARU DALAM WAJAH HUKUM HUKUM DI INDONSEIA (OMIBUS LAW: Oleh Ahmad Husni Ubaidillah)

GAGASAN BARU DALAM WAJAH HUKUM HUKUM DI INDONSEIA ( OMIBUS LAW )               Peraturan perundang-undangan merupakan salah satu ele...

Rabu, 04 April 2018

STUDENT LOANS DAN STRATEGI PENDIDIKAN MASA DEPAN INDONESIA



Oleh
Oji Jefri Saputra
Fakultas Hukum Unsoed
E1A017189
081228545886

Strategi Pembiayaan Pendidikan Tinggi

UUD 1945 menetapkan salah satu kewajiban konstitusional negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam rangka melaksanakan cita-cita nasional tersebut PT mempunyai tugas amat luhur dan menjadi harapan para warga bangsa. PT tidak saja dipandang mampu menentukan kemajuan dan masa depan bangsa melalui peningkatan kinerja ekonomi nasional, tetapi juga diharapkan mampu menciptakan keadilan sosial melalui akses ke perguruan tinggi. Pembiayaan untuk peenyediaan layanan pendidikan tinggi selama ini didukung oleh APBN yang jumlahnya masih belum cukup memadai, yaitu sekitar 20 persen dari total pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah tersebut adalah untuk subsidi biaya pendidikan tinggi sebesar 80-85 persen dari total biaya pendidikan per mahasiswa.
 Namun sekarang, kondisi keuangan pemerintah tidak setebal dulu, padahal untuk menmpertahankan standar mutu nasional dan peningkatan akses PT perlu dukungan dana yang semakin besar. Pilihan yang dilematis sekarang harus dibuat oleh Pemerintah. Apakah kebijakan status-quo dilanjutkan dengan menyediakan subsidi seadanya sebesar Rp. 6,2 juta per orang untuk semua mahasiswa dengan konsekuensi PT tidak mampu mempertahankan mutu akademik dan akses semakin timpang? Atau, beri PT kemandirian untuk melakukan strategi pembiayaan yang lebih rasional sehingga dapat meningkatkan mutu, meningkatkan tingkat partisipasi PT menjadi 20 persen pada 2018, serta peningkatan akses kelompok masyarakat kurang mampu ke PT berkualitas ?



Resep Prof. Nicholas Barr
Ternyata Indonesia bukan satu-satunya bangsa yang menghadapi kondisi dilematis ini. Bangsa Inggris juga sedang menghadapi masalah pendidikan yang sama yakni, merosotnya kualitas akademik dan rendahnya akses golongan ekonomi lemah ke perguruan tinggi. Prof. Nicholas Barr, profesor ekonomi publik dari London School of Economics(LSE), mengajukan resep cukup menarik untuk dipelajari. Versi ringkas pikiran Prof. Barr sudah diterbitkan di harian The Guardian edisi Juni 12, 2003 dengan judul “How best to widen university access – by abolishing fees as Tories suggest, or by enhancing loans, as the government plans”? Versi lebih lengkap diterbitkan dalam bentuk white paper berjudul “Financing Higher Education: Comparing the Options” yang disusunnya untuk Partai Buruh yang sedang berkuasa di Inggris. Menjelang Pemilu tahun 2004, salah satu agenda politik yang dipilih oleh dua partai yang sedang bersaing keras berebut dukungan publik Inggris adalah isu kemerosotan mutu dan terbatasnya akses golongan lemah ke perguruan tinggi.
Partai Torries, yang merupakan partai oposisi, berjanji akan meningkatkan akses golongan kurang mampu dengan memberi subsidi penuh kepada mahasiswa. Sebaliknya, Partai Buruh yang sedang berkuasa, menjanjikan akan meningkatkan akses golongan kurang mampu melalui pembayaran yang ditangguhkan (deferred payments). Sederhananya, para mahasiswa dari keluarga mampu boleh kuliah dulu dan membayar kemudian. Menurut penilaian Barr, subsidi penuh dan pembebasan biaya pendidikan tidak selalu menyebabkan akses yang lebih adil dan merata pada pendidikan tinggi. Menggunakan penerimaan dari pajak sebagai sumber pembiayaan pendidikan tinggi akan menyebabkan dana untuk program lainnya menjadi berkurang. Dalam real politics, subsidi untuk pendidikan tinggi selalu kalah dengan sistem kesehatan nasional dan untuk membiayai pendidikan wajib dan program pra-sekolah. Kedua, dalam pelaksanaannya subsidi di Inggris selalu kurang menguntungkan kelompok miskin. Selama bertahun-tahun, akses keluarga kurang yang mampu ke pendidikan tinggi hanya 15 persen, dibandingkan 81 persen dari keluarga mampu. Sebaliknya, di Amerika yang mengikuti sistempasar, akses keluarga kurang mampu mencapai 43 persen. Ketiga, subsidi pemerintah selalu lebih menguntungkan kelompok yang lebih baik kondisi ekonominya. Di Inggris cukup banyak anggota masyarakat yang mendukung rencana sistem pajak progresif. Namun, mereka mengharapkan penerimaan pemerintah dari pajak lebih digunakan untuk pendidikan pra-sekolah, menurunkan angka drop-outs pada SLTA, meningkatkan kualitas pendidikan kejuruan, serta program khusus untuk anak-anak keluarga tidak mampu.
Opsi kedua, yang menjadi agenda politik Partai Buruh, adalah usul sebaliknya. Masyarakat yang memerlukan pendidikan tinggibermutu tinggi harus membayar biaya investasi masa depannya. Orang yang lebih mampu harus membayar lebih tinggi dan akses ke pendidikan tinggi dibiayai melalui pinjaman. Belajar dari kegagalan masa lalu dalam pelaksanaan student loans, Pemerintah menjamin pembayaran kembali melalui pembayaraan pinjaman melalui potongan gaji bersamaan dengan pemungutan pajak penghasilan. Pembayaran melalui pemotongan gaji ini memungkinkan adanya pembayaran secara progresif. Orang yang berpendapatan rendah mengangsur lebih rendah dan yang berpendapatan tinggi mengangsur lebih besar. Opsi ini pada dasarnya ingin mendorong alokasi anggaran pendidikan dari kelompok mampu yang tidak lagi menerima subsidi ke kelompok tidak mampu yang menerima pinjaman untuk mendapatkan akses ke perguruan tinggi.
Demikianlah kiranya dapat  menjelaskan gambaran umum student loans yang pernah diterapkan di dunia. Gambaran itu menyiratkan suatu pertanyaan besar yakni Mungkinkah student loans diterapkan di Indonesia ?. Menurut hemat penulis jawabanya adalah mungkin-mungkin saja untuk menerapkan di Indonesia setidaknya untuk masa yang akan datang, dan sekaligus benar-benar tidak mungkin apabila diterapkan di Indonesia. Jawaban atas kemungkinan itu terjadi apabila pemerintah telah membentuk sistem yang baik, regulasi yang jelas, dan pencapaian visi misi secara akurat. Kemudian masyarakat termasuk mahasiswa yang berada di dalamnya selaku objek wajib memiliki komitmen dalam mencapai visi misi pemerintah. Selama hal-hal itu dapat dijamin keberlangsungannya maka, penulis berani menjamin kalau student loans akan mempercepat pembangunan SDM Indonesia melalui jalur pendidikan. Namun, apabila yang terjadi adalah sebaliknya maka students loans merupalan hal yang tidak akan mungkin bisa diterapkan di Indonesia karena hanya akan menimbulkan masalah baru. Di sini penulis ingin kembali menegaskan bahwa student loans pada dasarnya sangat baik untuk memajukan pendidikan di Indonesia, akan tetapi manakala visi misi student loans itu tidak terpenuhi maka yang terjadi justru adalah sebaliknya yaitu penambahan beban negara. Setidaknya untuk saat ini pendidikan tinggi Indonesia sedang menghadapi 3 tantangan yang amat berat yakni kesenjangan mutu dibandingkan dengan PT regional ASEAN; tingkat partisipasi terbatas, hanya 13 persen dispartitas akses antara golongan masyarakat kurang mampu dan yang mampu; dan rendahnya efisiensi internal. Untuk mengatasi ketiga tantangan tersebut diperlukan dukungan biaya cukup besar. Setidaknya di sini penulis akan mengemukakan 3 solusi yang dapat dipertimbangkan oleh Pemerintah untuk membiayai pembangunan pendidikan tinggi yang bertujuan mengatasi 3 masalah pokok sebgaimana yang dimaksud di atas.
Opsi pertama, adalah seperti opsi yang dipilih Partai Torries di Inggris, Pemerintah memberi subsidi pendidikan tinggi untuk semua mahasiswa yang diterima di perguruan tinggi, Untuk merealisasikan janji politik ini perlu disediakan anggaran pendidikan tinggi sebesar Rp. 19,9 trilyun sampai Rp. 69,4 trilyun, tergantung dari standar mutu dan tingkat partisipasi yang hendak dicapai. Artinya diperlukan peningkatan pengeluaran untuk pendidikan tinggi antara 3 sampai 12 kali, tergantung dari standar mutu yang hendak dicapai. Opsi kedua, adalah Subsidi Silang dengan menerapkan full-payment kepada keluarga mampu, memberi subsidi penuh kepada mahasiswa dari keluarga tidak mampu, dan subsidi 50 persen kepada mahasiswa dari keluarga berpenghasilan menengah. Biaya untuk melaksanakan opsi ini berkisar antara Rp. 11,4 trilyun sampai Rp 97,1 trilyun bila standar mutu yang hendak dicapai adalah standar mutu PT di Malaysia dan Singapura. Opsi ketiga, adalah Penyediaan Pinjaman Pendidikan Tinggi dengan subsidi bunga kepada keluarga tidak mampu dan keluarga kurang mampu. Jumlah kredit tergantung dari besarnya biaya pendidikan yang dikenakan oleh masing-masing Universitas. Biaya yang harus disediakan Pemerintah untuk subsidi bunga berkisar antara Rp. 798 milyar untuk standar nasional sampaiRp. 6,797 trilyun per tahun untuk kira-kira 1, 3 juta mahasiswa perguruan tinggi negeri yang mencapaistandar mutu PT Malaysia dan Singapura. Angsuran pinjaman pokok sebesar Rp 72 juta per mahasiswa untuk membiayai pendidikan tinggi selama 4 tahun dengan standar nasional. Dengan kata lain sistem pembayaran seperti ini memungkinkan lulusan dengan pendapatan lebih tinggi membayar jumlah yang lebih besar, sehingga waktu pelunasan hutangnya lebih pendek.
Menurut hemat kami Karena peningkatan mutu pendidikan tinggi adalah agenda politik yang tidak dapat ditawar lagi, sebaiknya Menteri Pendidikan Nasional Pemerintahan Jokowi-JK segera memilih Opsi Ketiga untuk mengatasi kendala pembiayaan guna melaksanakan kebijakan nasional perndidikan tinggi. Alokasi APBN yang tesedia untuk pendidikan tinggi diperkirakan mencapai Rp. 6 – 7 trilyun per tahun. Jumlah tersebut amat memungkinkan pelaksanaan program pembangunan pendidikan tinggi untuk meningkatkan mutu, meningkatkan partisipasi dan meningkatkan akses pendidikan tinggi secara berkeadilan untuk 1,4 – 1,5 juta mahasiswa. Program ini akan mempunyai dampak positif terhadap kemajuan pendidikan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar