Laporan Kemajuan PKM-M

GAGASAN BARU DALAM WAJAH HUKUM HUKUM DI INDONSEIA (OMIBUS LAW: Oleh Ahmad Husni Ubaidillah)

GAGASAN BARU DALAM WAJAH HUKUM HUKUM DI INDONSEIA ( OMIBUS LAW )               Peraturan perundang-undangan merupakan salah satu ele...

Rabu, 27 November 2019

GAGASAN BARU DALAM WAJAH HUKUM HUKUM DI INDONSEIA (OMIBUS LAW: Oleh Ahmad Husni Ubaidillah)


GAGASAN BARU DALAM WAJAH HUKUM HUKUM DI INDONSEIA
(OMIBUS LAW)

              Peraturan perundang-undangan merupakan salah satu elemen terpenting dalam konsep negara hukum demokrasi modern. Sebagai salah satu su-sistem dari negara hukum demokratis, peraturan perundang-udangan dicitrakan dapat melingkupi dan menjawab semua permasalahan-permasalahan kebangsaan yang berkaitan dengan kepentingan politis partai politik dan politisi Lembaga perwakilan. Terlepas dari esesi dari peraturan perundang-undangan itu sendiri, idealitas tersebut jauh dari realitas, alih-alih memberi esesni kepastian hukum (legal certainty) bagi masyrakat, peraturan perundang-undnagan di Indonesia kerap memberi ketidak pastian hukum (legal uncertainty), karena banykanya tumpang tindih peraturan, baik dalam tingkat hierarki yang sama atau dengan peraturan dibawahnya.
         Untuk menjawab probelamtika permasalahan yang ada tersebut, dapat dilakukan upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan. Namun upaya tersebut dirasa belum mampu menjawab problem yang ada. Salah satu trobosan baru yang digadang-gandang akan di terapkan oleh Pemerintah Indonesia adalah konsep Omnibus Law.
Secara harfiah omnibus berarti “untuk segalanya”. Omnibus law adalah suatu rancangan undang-undang (bill) yang mencakup lebih dari satu sapek yang digabung menjadi satu undang-undang. Sementara dalam Black Law Dictionary disebutkan “A single bill containing various distinct matters. Drafted in this way to force the executive either to accept all the unrelated minor provisions or to veto the major provision. Omnibus bill is also a bill that deals with all proposals relating to a particular subject, such as an‘omnibus judgeship bill’covering allproposals for new judgeship or an‘omnibus crime bill’dealing with different subjects such as new crimes and grants to states for crime control”.
             Dalam konteks sejarah dan tradisi hukum common law, omnibus law dapat ditafsirkan sebagai iktisar reformasi perundang-undangan untuk merubah, menolak dan kemudian memunculkan norma hukum baru yang bertujuan untuk menegaskan norma-norma hukum sebelumnya dalam beberapa UU hanya lewat satu UU. Omnibus law dapat dianggap sebagai UU ‘sapu jagat’ yang dapat digunakan untuk mengganti beberapa norma hukum dalam beberapa UU. Praktek omnibus law pernah dilakukan oleh irlandia untuk melakukan perampingan peraturan perundangan yang dilakukan hanya lewat satu  UU omnibus mengahapus sekitar 3, 225 UU. Capaian Irlandia dianggap sebagai rekor dunia prakek omnibus lawKonsep Omnibus Law yang diterapkan di beberapa negara seperti amerika serikat, belgia, inggris, Canada, turkey, New Zealand, Australia, argentina, Belgium, chile, Estonia, finlad, Philippines dan masing banyak lagi. Dimana pada negara tersebut penerapan dari konsep omnibus law berbeda-beda pada pengimplikasiannya, dalam artian disini adalah menegai UU-nya.Terhadap konsep omnibus law memiliki beberapa keuntungan, yaitu, 1) pemerintah dan parlement tidak perlu merevisi undang-undang satu persatu, 2) skema omnibus law juga menciptakan efisinesi dan efektivitas, 3) skema ini berfungsi sebagai paying hukum (umbrella act). Namun dalam perkembangannya, praktek omnibus law dikritik seagai mekanisme hukum yang pragmatis dengan beberapa alasan sebagai berikut: Pertama, omnibus law mengganti dan merubah norma beberapa UU yang memiliki inisiatif politik yang berbeda. Dalam konsteks sistem parlementer yang paling sering digunakan oleh negara-negara common law, rancangan UU dapat disampaikan oleh partai-partau mayoritas/atau oleh partai oposisi. Konteks sistem pemerintahan inilah yang perlu dipertimbangkan, walaupun beberapa negara common law juga ada yang memilih bentuk negara republik dan sistem pemerintahan presidensil; dimana baik eksekutif (Presiden) maupun badan legislatif dapat mengajukan rancangan UU. Dengan dikeluarkannya UU omnibus, parlemen atau Lembaga legislatif tidak peka terhadap kompelsitas kepentingan dan aspirasi fraksi-fraksi yang telah menyusun dan mengkompromikan kepentingan-kepentingan dalam UU yang telah dihapus oleh UU omnibus. Oleh karena itu, omnibus law dianggap tidak demkoratis. Kedua, omnibus law dianggap tidak disusun secara sistematik karena dalam satu UU omnibus terdapat banyak subyek yang diatur. Beberapa negara yang disebut diatas juga mulai mengatur pentingnya UU yang hanya mengatur subyek dalam pembahasannya. Di amerika serikat sendiri, konstitusi negara-negara bagiannya sudah banyak yang mengatur tentang subyek dalam satu UU (The one subject at a time act). Dalam konteks Indonesia, sebenarnya konsep omnibus law juga pernah dipraktekan namun bukan dalam bentuk UU, melainkan dalam bentuk Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor 1/2003 yang mengatur banyak subyek norma hukum TAP MPR. Setidaknya ada 139 TAP MPR yang dicabut oleh TAP MPR No 1 Tahun 2003 dari periode tahun 1960 sampai dengan 2002. Namun perlu ditekankan perbedaan TAP MPR ‘Sapu Jagat’ dengan omnibus law, TAP MPR tersebut tidak memuat norma baru, hanya semata-mata menghapus dan memberi pertimbangan terhadap subsatansi TAP yang diatur.
              Terlepas dari apa yang telah diuraikan diatas sebelumnya, dengan mengingat akan sejarah dari omnibus law yang sering digunakan oleh negara-negara yang menganut system common law, maka apakah terhadap konsep omnibus law ini dapat diterapkan dalam system hukum Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini sebenarnya bisa-bisa saja karena dengan konsep tersebut dapat menjadi jawaban atas persoalan kompleksitas dan tumpeng tindih regulasi di indonesia, selain itu asal konsep tersebut dibuat secara jelas dan taat terhadap herarki aturan, serta menjamin kepastian hukum. Sebagaimana diketahui hukum selalu berkembang, oleh sebab itu terhadap paradigma sistem hukum di Indonesia pun juga berkembang dan tentunya perkembangan yang ada pun harus menuju arah yang lebih  baik sebagaimana fungsi dari hukum itu sendiri, begitupun dengan adanya konsep omnibus law, jika memang akan diterapkan maka harus dikaji secara mendalam agar mampu tercipta hukum yang baik.

Sumber :
Jurnal
Mirza Satria Buana, SH., MH., Ph.D, Menakar Konsep Omnibus Law Dan Consolidation Law Untuk          Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Indonesia: Pendekatan Perbandingan Hukum              Tata Negara, “Prosiding Konferensi Nasional hukum tata negara ke 4 “penataan regulasi di                     Indonesia”, UPT PENERBITAN UNEJ, 2017.
Firman Freaddy Busroh, Konseptualisasi Omnibus Law dalam Menyelesaikan Permasalahan                        Regulasi Pertanahan, Arena Hukum Volume 10 Nomor 2, STIHPADA Palembang, 2017.

Artikel
Yustinus Prastowo, Mujarabkah Omnibus Law sebagai Obat Lesu Ekonomi, Regulaion Tax                             Discussion, CITA (Center for Indonesia Taxation Analysis), 2019.

Rabu, 16 Oktober 2019

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SATWA LUMBA-LUMBA DALAM PERTUNJUKAN ATRAKSI HIBURAN (Oleh Rizki Dwi Haryani)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SATWA LUMBA-LUMBA DALAM PERTUNJUKAN ATRAKSI HIBURAN


      Pemanfaatan satwa sebagai objek atraksi pertunjukan sirkus di Indonesia masih marak dilaksanakan hingga saat ini. Pertunjukan sirkus telah menjadi salah satu hiburan rakyat yang melegenda sejak ratusan tahun lalu. Berasal dari belahan bumi bagian barat, merambah hingga ke hampir seluruh negara di Indonesia. Pemanfaatan tersebut bukan hanya eksploitasi,  namun juga merupakan tindakan penganiayaan satwa, diantaranya adalah memperlakukan satwa di luar batas kemampuan biologis dan fisiologisnya tanpa memerhatikan kesejahteraan hewan tersebut, bisnis yang telah menunjukkan hewan liar untuk acara promosi, konvensi, dan sesi fotografi, demi kepentingan dan keuntungan bagi sekelompok orang. 
         Lumba-lumba merupakan salah satu mamalia yang mempunyai kecerdasan tinggi, menyamai kemampuan otak manusia, karena pola berpikir dan emosi yang kompleks. Dengan kecerdasannya tersebut lumba-lumba dianggap sebagi non human person. Penangkapan terhadap lumba-umba merupakan awal dari tindak penyiksaan yang dilakukan menggunakan izin penangkapan maupun tanpa menggunakan izin penangkapan. Terkadang nelayan yang sengaja menangkap lumba-lumba dengan alasan terjerat jaring nelayan, yang pada akhirnya dijadikan hewan sirkus oleh korporasi yang beralasan lumba-lumba akan di konservasi ditempatnya.
          Lumba-lumba sirkus akan dilatih dengan sistem reward dan punishment. Pelatih akan membuat lumba-lumba kelaparan dan memaksanya mengikuti instruksi, lalu akan dihadiahi dengan ikan yang sudah tidak segar sebagai bayarannya. Bahkan lumba-lumba akan dibiarkan kelaparan selama 3 hari apabila tidak menuruti instruksi dari pelatih, Lumba-lumba yang mengalami stres karena kelaparan dan berada di kolam kecil terpaksa mengikuti instruksi pelatihnya untuk mendapatkan makanan. 
Pengangkutan satwa harus melalui izin kepada Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan juga membutuhkan izin dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) kota yang akan dituju, yakni Surat SATS-DN (Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Dalam Negeri). Pengangkutan lumba-lumba ke dalam maupun luar negeri dilakukan dengan cara diletakkan pada kotak yang hanya seukuran tubuhnya, dan kotak tersebut dimasukkan ke dalam truk yang sempit dan gelap lalu mengangkutnya ke kota pertunjukan berikutnya. Di dalam kotak tersebut lumba-lumba hanya diberi busa yang dibasahi dengan air, lalu kulit lumba-lumba akan dilumuri dengan pelembab kulit manusia atau dengan mentega. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga kelembapan kulit lumba-lumba. Pengangkutan juga diperparah dengan jauh dan lamanya perjalanan pengangkutan lumba-lumba dari satu kota ke kota lainnya, menggunakan transportasi darat atau udara. Selama perjalanan lumba-lumba akan kepanasan dan juga tertekan selama di perjalanan. 
        Kolam tempat tinggal dan kolam pementasan lumba-lumba juga menjadi salah satu tindak penyiksaan bagi lumba-lumba. Kolam pementasan yang hanya berdiameter 6 meter, diisi oleh air laut buatan berupa air tawar yang dicampur dengan berton-ton garam dan juga klorin. Klorin merupakan senyawa pembunuh kuman yang bersifat korosif dan dapat dipastikan dapat merusak organ mata yang sensitif. Selain itu, keberadaan kolam ini juga dapat merusak sistem pendengaran lumba-lumba, mengingat lumba-lumba merupakan mamalia laut yang menggunakan sonar suara untuk berkomunikasi. Suara tepuk tangan dan sorak penonton juga akan memperparah kerusakan sistem sonar. 
       Dalam Surat Dirjen PHKA No. S. 388/IV-KKH/2013 tanggal 19 Agustus 2013 yang ditembuskan kepada Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dinyatakan bahwa BKSDA Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta berkewajiban untuk menertibkan, dan menghentikan segala kegiatan sirkus lumba-lumba keliling di wilayah kerja maisng-masing, mengambil tindakan untuk menarik kembali satwa tersebut ke Lembaga Konservasi asalnya serta tidak mengeluarkan SATS-DN (Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Dalam Negeri) bagi peragaan lumba-lumba keliling. 
           Tetapi komitmen Kementerian Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Akam (PHKA) dalam menertibkan dan menghentikan segala bentuk pertunjukan lumba-lumba tidak pernah dilaksanakan. Kendati sudah ada kesepakatan antara pelaku bisnis sirkus kumba-lumba keliling dengan Perhimpunan Kebun Binatang Seluruh Indonesia (PKBSI) tentang penghentian aktivitas sirkus keliling tersebut di Kantor Majelis Permusyawaratan Rakyar RI  di Jakarta tanggal 19 Agustus 2013 silam, namun aktivitas eksploitasi melalui sirkus lumba-lumba masih terus berjalan sehingga saat ini di beberapa wilayah. 
             Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, dalam lampirannya tertulis di bagian mamalia (menyusui) Dolphinidae lumba-lumba air laut (semua jenis dari famili Dolphinidae) dan Ziphiidae lumba-lumba air laut (semua jenis dari famili Ziphiidae) merupakan salah satu jenis satwa yang harus dilindungi. Maka perawatan dan pengawasannya haruslah dengan baik dan ketat. Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, kesejahteraan hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia. Di dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan menyatakan bahwa:
          Untuk kepentingan kesejahteraan hewan dilakukan tindakan yang berkaitan dengan penangkapan dan penanganan; penempatan dan pengandangan; pemeliharaan dan perawatan; pengangkutan; pemotongan dan pembunuhan; serta perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap hewan.Ketentuan mengenai kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara manusiawi yang meliputi:penangkapan dan penanganan satwa dari habitatnya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang konservasi; penempatan dan pengandangan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga memungkinkan hewan dapat mengekspresikan perilaku alaminya;pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan pengayoman hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa lapar dan haus, rasa sakit, penganiayaan dan penyalahgunaan, serta rasa takut dan tertekan;pengangkutan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa takut dan tertekan serta bebas dari penganiayaan; penggunaan dan pemanfaatan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari penganiayaan dan penyalahgunaan;pemotongan dan pembunuhan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa sakit, rasa takut dan tertekan, penganiyaan, dan penyalahgunaan; danperlakuan terhadap hewan harus dihindari dari tindakan penganiayaan dan penyalagunaan.Ketentuan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kesejahteraan hewan harus memperhatikan kaidah etika dan kesejahteraan hewan. Tetapi dalam praktik pertunjukan atraksi sirkus lumba-lumba perlakuan penangkapan, pengandangan, pemeliharaan, pengangkutan dan perlakuan terhadap lumba-lumba bukanlah cerminan dari kesejahteraan hewan. Dalam Pasal 21 Ayat (2) Huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengatakan bahwa setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup. Hal ini sudah sangat jelas dilarang untuk melakukan hal-hal tersebut. Pengecualian untuk aturan ini diperbolehkan apabila dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis satwa yang bersangkutan. Tetapi hal ini malah menjadi celah bagi pelaku untuk menjadikan pengecualian tersebut menjadi alasan penangkapan mereka. 
        Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga mengatur pidana terhadap orang yang melakukan penyiksaan terhadap hewan. Pasal 302 KUHP menentukan:
Diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan:
barang siapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya;
barang siapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak memberi makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada di bawah pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya.
Jika perbuatan itu mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat atau menderita luka-luka berat lainnya, atau mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah, karena penganiayaan hewan.
Jika hewan itu milik yang bersalah, maka hewan itu dapat dirampas.
Percobaan melakukan kejahatan tersebut tidak dipidana.
          Aturan diatas sangat jelas akan adanya sanksi apabila masyarakat masih melakukan tindakan penganiayaan dan penyalahgunaan terhadap hewan, melukai atau merusak kesehatan hewan demi kepuasan dan/atau keuntungan dari hewan dengan memperlakukan secara tidak wajar dapat diancam dengan pidana penjara atau denda. Segala peraturan yang ada dan mengatur terkait lumba-lumba sebagai satwa dilindungi dan sebagai peragaan sudah diatur oleh pemerintah, tetapi masih ada celah dan kelalaian oleh pemegang lumba-lumba. Seharusnya segala bentuk hiburan peragaan lumba-lumba ditiadakan karena hal ini murni hanya sebatas bisnis. Alasan pendidikan mengenai lumba-lumba dan pengobatan hanya sebuah kedok dari bisnis ini. Karena hiburan ini memberikan masukan pendapatan juga kepada negara, hingga saat ini masih tetap berjalan. Sebuah pentas lumba-lumba bisa menghasilkan hingga Rp8.000.000,- sebuah angka yang cukup besar. Dalam hiburan lebih menitik beratkan sisi ekonominya di banding sisi kemanusiaan terhadap kehewanan. 
Organsisasi yang membantu menyelamatkan, menolong, menampung ataupun memberikan edukasi mengenai hewan berharap sirkus lumba-lumba dihentikan karena hal ini jelas tidak sejahtera bagi satwa, kembalinya fungsi lumbalumba di alam liar, pembaruan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 agar semua permasalahan mengenai kesejahteraan lumba-lumba dapat selesai teratasi.

Sumber:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Fanny, Vivian dan Ahmad Redi. “Perlindungan Lumba-Lumba Sebagai Satwa Langka Yang Dilindungi dari Tindakan Penempatan dan Atraksi Hiburan Lumba-Lumba yang Tidak Sesuai”. Jurnal Hukum Adigama Universitas Tarumanagara. Diakses tanggal 15 Oktober 2019. 
Anonim. “Perlindungan Hukum Terhadap Satwa Lumba-Lumba Untuk Pertunjukan Dalam Praktik”   http://repository.unpas.ac.id/33784/2/H.%20 BAB %203.pdf . Diakses tanggal 15 Oktober 2019.

Senin, 30 September 2019

PIDANA TUTUPAN

PIDANA TUTUPAN

Dalam tahun 1946, tepatnya tanggal 3 Juli, telah diintrodusir suatu terminologi baru dalam hukum pidana di Indonesia, yang dinamakan pidana tutupan, yaitu satu jenis pidana bagi mereka yang patut dihormati. Penerapan terminologi baru ini berkaitan dengan dilakukan penangkapan dan pemenjaraan terhadap tokoh-tokoh politik pada waktu itu, antara lain Muhammad Yamin dan Mayjen Sudarsono, yang meminta agar Kabinet Sjahrir dicopot oleh Presiden Soekarno. Namun permintaan ini ditolak oleh Presiden Soekarno dan kepada mereka dikenakan pemidanaan penjara/tutupan. Akan tetapi bagaimana wujud serta substansi pidana tutupan ini. Bahkan terhadap siapa yang dimaksud sebagai narapidana yang wajib dihormati, masih belum jelas.
             Pidana tutupan disediakan bagi politisi yang melakukan kejahatan yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya. Tetapi dalam praktek peradilan dewasa ini, tidak pernah ketentuan tersebut diterapkan. Pidana tutupan merupakan perkembangan jenis pidana baru yang pembentukannnya berdasarkan Undang-undang No. 20 tahun 1946 tentang hukuman tutupan sehingga ditambahkan jenis – jenis pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 10 KUHP dengan satu pidana baru. Adapun maksud ditetapkannya Undang-undang No. 20 tahun 1946, K. Wantjik Saleh menyatakan bahwa dari ketentuan Pasal 1 dan 2 Undang Undang No. 20 tahun 1946 dapat disimpulkan sebagai berikut: “Pidana tutupan dimaksud dapat menggantikan hukuman penjara dalam hal orang yang melakukan kejahatan diancam dengan hukuman penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati. Tetapi hal itu tergantung pada hakim. Kalau menurut pendapat hakim perbuatan yang merupakan kejahatan atau acara melakukan perbuatan itu atau akibat perbuatan itu hukuman penjara lebih pada tempatnya, maka hakim menjatuhkan hukuman penjara.” Diadakannya hukuman tutupan itu dimaksudkan untuk kejahatan-kejahatan yang bersifat politik sehingga orang-orang yang melakukan kejahatan politik itu akan dibedakan dengan kejahatan biasa. Hubungannya diadakan undang-undang No. 20 tahun 1946 dengan politik kiranya dapat dilihat konsiderannya yang menyebutkan maklumat Wakil Presiden No. X yakni tentang anjuran pendirian partai politik. Selanjutnya ditentukan bahwa semua peraturan yang mengenai hukuman penjara juga berlaku terhadap hukuman tutupan jika peraturan-peraturan itu tidak bertentangan dengan sifat atau peraturan khusus tentang hukuman tutupan.
                  Pidana tutupan ini ditambahkan ke dalam Pasal 10 KUHP melalui UU No. 20 Tahun 1946, yang dimaksudnya sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan bahwa dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan. Pada ayat 2 dinyatakan bahwa pidana tutupan tidak dijatuhkan apabila perbuatan yang merupakan kejahatan itu adalah sedemikian rupa sehingga hakim berpendapat bahwa pidana penjara lebih tepat.
Tempat dan menjalani pidana tutupan serta segala sesuatu yang perlu untuk melaksanakan UU No. 20 Tahun 1946 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1948, yang dikenal dengan Peraturan Pemerintah Tentang Rumah Tutupan.
Di dalam Peraturan Nomor 8 Tahun 1948 ini, terlihat bahwa rumah tutupan itu berlaku berbeda dengan rumah penjara (Lembaga Pemasyarakatan) karena keadaan rumah tutupan itu, serta fasilitas-fasilitasnya adalah lebih baik dari yang ada pada penjara, misalnya dapat kita baca dalam Pasal 55 ayat 2 dan 5,36 ayat 1 dan 3, 37 ayat 2. Pasal 33 menyatakan bahwa makanan orang pidana tutupan harus lebih baik dari makanan orang dipidana penjara. Uang rokok bagi yang tidak merokok diganti dengan uang seharga rokok tersebut.

           Dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam PP Nomor 8 Tahun 1984 tersebut, dapat diketahui bahwa narapidana tutupan itu lebih banyak mendapatkan fasilitas dari pada narapidana penjara. Hal ini disebabkan karena orang yang dipidana tutupan itu tidak sama dengan orang-orang yang dipidana penjara. Tindak pidana yang didorong oleh maksud yang patut dihormati.
Berdasarkan bunyi Pasal 1 ayat 1 PP ini, tampaknya pidana tutupan bukan jenis pidana yang berdiri sendiri, melainkan pidana penjara juga. Perbedaan hanyalah terletak pada orang yang dapat dipidana tutupan hanya bagi orang yang melakukan tindak pidana karena didorong oleh maksud yang patut dihormati. Sayangnya dalam undang-undang itu maupun PP Pelaksanaannya itu tidak dijelaskan tentang unsur maksud yang patut dihormati itu. Karena itu penilaiannya, kriterianya diserahkan sepenuhnya kepada hakim.
               Dalam praktik hukum selama ini, hampir tidak pernah ada putusan hakim yang menjatuhkan pidana tutupan. Sepanjang sejarah praktik hukum diindonesia, pernah terjadi hanya satu kali hakim menjatuhkan pidana tutupan, yaitu putusan Mahkamah Tentara Agung RI pada Tanggal 27 Mei 1948 dalam hal mengadili para pelaku kejahatan yang dikenal dengan sebutan peristiwa 3 Juli 1946.

Sumber :
Mahrus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.
Gunadi ismu, effendi jonaedi, 2011, cepat dan mudah memahami hukum pidana (jilid 1), Prestasi Pustaka, Jakarta.
Moeljatno. 2003. Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara.

Sabtu, 14 September 2019

Sita Harta Bersama (Marital Beslag)


Selain sita revindikasi dan sita jaminan (Conservatoir Beslag) terdapat pula bentuk sita khusus yang diterapkan terhadap harta bersama suami-istri, apabila terjadi sengketa perceraian atau pembagian harta bersama. Dalam penulisan dan praktik peradilan umum disebut dengan sita marital. Perkataan sita marital berasal dari marital beslag. Dalam perkembangannya hukum Belanda saat ini disebut sebagai sita matrimonia, karena makna kesetaraan antara suami-istri dalam perkawinan. Dalam sistem hukum Indonesia, dapat dipergunakan istilah sita harta bersama atau sita harta perkawinan. Sebutan itu memperlihatkan kedudukan yanng setara (equal) antara suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga. Kesetaraan ini secara tegas dirumuskan dalam Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa hak dan kedudukan istri seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyrakat. Bahkan pada Ayat (2) ditegaskan lagi, masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Sehubungan dengan itu, dipergunakan istilah tersebut tanpa mengurangi kemungkinan penggunaan sita marital.
Tujuan sita bersama untuk membekukan harta bersama suami-istri melalui penyitaan, agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses perkara perceraian atau pembagian harta bersama berlangsung. Pembekuan harta bersana  di bawah penyitaan berfungsi untuk mengamankan atau melindungi keberadaan dan keutuhan harta bersama atau tindakan yang tidak bertanggung jawab dari Tergugat. Dalam permintaan sita marital, terdapat tindakan pengamanan yang diamanatkan sita bersama sebagaimana berpedoman pada Pasal 823 Rv, tindakan pengamanan meliputi tahap penyegelan, pencatatan, penilaian harta bersama, dan penyitaan harta bersama.
Pengaturan sita bersama ditemukan dalam beberapa peraturan perundang-undangan yaitu:
§    Pasal 190 KUHPerdata
Sementara perkara berjalan, dengan izin hakim, istri boleh mengadakan tindakan-ttindakan untuk menjaga agar harta kekayaan persatuan tidak habis atau diboroskan
§    Pasal 24 Ayat (2) Huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
“Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat :
a.        Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;
b.        Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;
c.         Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-isteri atau barangbarang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.
Sita harta bersama diterapkan pada perkara gugatan perceraian, pihak yang dapat megajukan sita bersama tidak hanya terbatas pada istri tetapi juga dapat dilakukan oleh suami. Karen ahak dan kedudukan suami-istri seimbang termasuk dalam kedudukan atas harta bersama. Sehingga dasar pemintaan sita untuk meminta sita marital dalam perkara perceraian bukan berdasarkan faktor kedudukan sebagai penggugat, tetapi pada faktor siapa yang menguasai harta bersama. Sistem yang memberi hak kepada Tergugat untuk mengajukan permintaan sita marital dalam perkara perceraian, melalui jalur gugatan rekovensi yang berisi tuntutan pembagian harta bersama dan dibarengi dengan permintaan sita harta bersama.
Penerapan sita harta bersama meliputi seluruh harta bersama. Tidak dibenarkan secara parsial, hanya diletakkan terhadap harta yang dikuasai Tergugat saja. Berdasarkan pengertian sita marital itu sendiri adalah sita terhadap seluruh harta bersama secara total baik yang ada di tangan suami atau istri. Harta bersama menurut Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah  harta yang diperoleh suami-istri selama perkawinan berlangsung dan Pasal 36 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terhadap harta bersama suami-istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Penyitaan tidak menjangkau harta pribadi suami-istri, yaitu harta yang telah dimiliki suami-istri sebelum perkawinan berlangsung maupun hadiah atau warisan yang diterima suami-istri selama perkawinan berlangsung.

Sita Penyesuaian (Vergelijkende Beslag)
Sita penyesuaian diatur dalam Pasal 436 Rv yang mengatur prinsip saisine net vaut, yaitu sita jaminan atau sita eksekusi atau sita pada umumnya, hanya boleh diletakkan satu kali atas suatu barang yang sama pada saat yang bersamaan. Oleh karena itu, apabila pihak ketuga meminta sita diletakkan atas suatu barang debitur atau Tegugat yang telah diletakkan sita sebelumnya, atas permintaan kreditur atau Penggugat, permintaan sita tersebut (yang terakhir) harus dinyakan tidak dapat diterima atau ditolak, sebagai gantinya hanya dapat diletakkan sita persamaan, yang dinyatakan dan dicatat dalam berita sita yang menjelaskan, oleh karena atas barang yang diminta sita telah terlebih dahulu disita atas permintaan orang lain maka yamg dapat dikabulkan adalah sita penyesuaian. Prinsip ini diterapakna agar tidak terjadi penyitaan yang tumpang tindih atas barang debitur yang sama pada waktu yang bersamaan.
Apabila atas permintaan Penggugat atau Kreditor telah diletakkan sita jamina (conservatoir beslag), sita revindicatoir, sita eksekusi (executorial beslag), atau sita marital (marital beslag), maka pada waktu yang bersamaan, tidak dapat diminta dan dilaksanakan penyitaan terhadap barang itu atas permintaan Penggugat atau Kreditor lain, sesuai dengan asas bahwa pada waktu yang bersamaan hanya dapat diletakkan satu kali saja penyitaan terhadap barang yang sama. Permintaan sita yang kedua dari pihak ketiga, harus ditolak atau tidak dapat diterima atas alasan pada barang yang bersangkutan telah diletakkan sita sebelumnya atas permintaan Penggugat atau Kreditor terdahulu, yang dapat dikabulkan kepada pemohon yang belakangan hanya berbentuk sita penyesuaian atau berkedudukan sebagai pemegang sita peyesuaian.
Sebagai pemohon belakangan diberikan posisi berikutnya dengan ketentuan apabila sita pertama diangkat, pemegang sita penyesuaian naik peringkatnya menjadi pemegang sita pertama atau jika barang sitaan dijual lelang, dan dari hasil penjualan terdapat sisa setelah dilunasi pembayarannya kepada pemegang sita pertama maka sisa itu jatuh menjadi hak pemegang sita penyesuaian.
Sita Eksekusi
Berdasarkan Pasal 197 HIR/208 Rbg menyatakan bahwa:
Jika  sesudah  lewat  tempo  yang  telah  ditentukan itu,  belum  juga  dipenuhi putusan  itu  atau  jika  pihak  yang  dikalahkan  itu  walaupun  telah  dipanggil dengan   patut  tidak  juga datang menghadap maka ketua atau pegawai yang dikuasakan  itu  karena  jabatannya  memberi  perintah  dengan  surat  supaya disita  sejumlah barang kepunyaan  pihak  yang  dikalahkan sekian barang  bergerak dan jika yang demikian tidak ada atau ternyata tiada cukup, sekian barang tak bergerak kepunyaan orang yang kalah itu, sampai dianggap cukup menjadi pengganti jumlah uang tersebut dalam keputusan itu dan semua biaya untuk melaksanakan keputusan itu”.
Sita eksekusi merupakan sita yang berhubungan dengan masalah pelaksanaan suatu putusan karena pihak Tergugat tidak mau melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum secara sukarela meskipun Pengadilan telah memperingatkan agar putusan tersebut dilaksanakan secara sukarela sebagaimana mestinya. Sita eksekusi dapat dilakukan apabila telah mempunyai title eksekutorial (mempunyai kekuatan hukum yang tetap) dengan irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Terdapat dua macam sita eksekusi, yaitu:
§  Sita Eksekusi Langsung
Sita eksekusi langsung diletakkan atas barang bergerak dan barang tidak bergerak milik debitur atau pihak yang kalah. Sehubungan dengan pelaksanaan grosse akta pengakuan utang yang berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” atau hak tanggungan. Apabila barang-barang yang disita sebelumnya dengan sita conservatoir, yang dalam rangka eksekusi telah berubah menjadi sita eksekusi dan dilelang, hasilnya tidak cukup untuk membayar jumlah uang yang harus dibayar berdasarkan putusan pengadilan, maka akan dilakukan sita eksekusi lanjutan terhadap barang-barang milik tergugat untuk kemudian dilelang.
§  Sita Eksekusi Tidak Langsung
Sita eksekusi yang berasal dari sita jaminan yang telah dinyatakan sah dan berharga dalam rangka eksekusi otomatis berubah menjadi sita eksekusi.

Daftar Pustaka:
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Sinar Grafika: Jakarta.
Pengadilan Negeri Ponorogo. Proses Acara Penyitaan. http://pn-ponorogo.go.id/joomla /index.php /kepaniteraan/kepaniteraan-perdata/proses-acara-perdata/penyitaan. Diakses pada tanggal 14 September 2019, pukul 23.45 WIB.

Jumat, 30 Agustus 2019

Menelisik Keabsahan Non Competition Clause di Indonesia

Menelisik Keabsahan Non Competition Clause di Indonesia

Bekerja merupakan salah satu kebutuhan manusia yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan. Dalam ketentuan Pasal 28 D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 ditegaskan :
“ Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”
Hal tersebut dikuatkan oleh Pasal 38 ayat (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.
Pengaturan tersebut memberikan pengertian bahwa bekerja merupakan salah satu bagian dari hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi, dimana setiap manusia diberikan hak untuk bekerja serta bebas memilih pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Pengaturan serupa juga di atur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Prinsipnya, UU Ketenagakerjaan memberikan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk memilih, mendapatkan atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak baik di dalam maupun di luar negeri.
Terdapat dua pihak dalam hubungan ketenagakerjaan yaitu pekerja dan pengusaha. Hubungan hukum antara pekerja dan pengusaha diwujudkan dengan perjanjian kerja, di mana perjanjian tersebut mengatur mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban pekerja dan pengusaha. Sebagaimana dalam Pasal 50 UU Ketenagakerjaan dikatakan bahwa :
“Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruhnya.”
Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian yang diadakan antara majikan tertentu dan karyawan atau karyawan-karyawan tertentu, yang umumnya berkenaan dengan segala persyaratan yang secara timbal-balik harus dipenuhi oleh kedua belah pihak, selaras dengan hak dan kewajiban mereka masing-masing terhadap satu sama lainnya.
Perjanjian kerja merupakan perjanjian yang memaksa (dwang contract), karena para pihak tidak dapat menentukan sendiri keinginannya dalam perjanjian yang satu (pengusaha) mempunyai kedudukan yang lebih tinggi atau berposisi kuat dibandingkan dengan pihak lainnya (pekerja) yang mempunyai kedudukan lebih rendah atau berposisi lemah, sehingga terjadi relasi kuasa yang tidak seimbang (subordinatif).
Dalam praktik masih terdapat hubungan pengusaha dan pekerja yang tidak harmonis, banyak pekerja yang merasa diperlakukan tidak adil dan layak oleh pengusaha. Bahkan di dalam perjanjian kerja itu sendiri diatur klausul yang memberatkan salah satu pihak sehingga menimbulkan kedudukan yang tidak seimbang. Salah satunya adalah klausul non-kompetisi (non competition clause/ non-competition covenant).
Black’s Law Dictionary mendefinisikan non-competition covenant sebagai a promise usually in a sale-of-business, partnership or employment contract, not to engage in the same type of business for a stated time in the same market as the buyer, partner or employer.
Sedangkan Wikipedia mendefinisikan a non-compete clause or covenant not to compete sebagai a term used in a contract law under which one party (usually an employee) agrees not to pursue a similar profession or trade in competition against another party (usually the employer).
Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik pemahaman bahwa non competition clause merupakan suatu klausul larangan dan merupakan prestasi, dalam hal ini adalah prestasi untuk tidak berbuat sesuatu (of nien to doen), artinya pihak yang satu berkewajiban untuk tidak berbuat suatu perbuatan yang diperjanjikan. Apabila salah satu pihak melakukan perbuatan yang dalam perjanjian disepakati bahwa ada kewajiban bagi dirinya untuk tidak melakukan perbuatan tersebut, maka pihak tersebut telah melakukan wanprestasi. Larangan tersebut berupa tidak diperbolehkannya seorang pekerja menerima pekerjaan atau bekerja atau membangun perusahaan yang bergerak pada bidang yang sama dengan perusahaan di mana pekerja tersebut bekerja sebelumnya. Hal ini dilarang karena adanya kekhawatiran dari perusahaan bahwa mantan pekerjanya tersebut akan membocorkan segala informasi penting perusahaan baik rahasia dagang, maupun informasi lainnya yang bersifat rahasia sehingga menimbulkan kerugian bagi perusahaan dan mengancam posisi perusahaan terhadap pesaingnya.
Di negara-negara barat seperti Amerika, Belanda, Belgia, Jerman, Spanyol, dan Perancis, klausul ini ditanggapi secara beragam. Meskipun negara-negara di atas memperbolehkan klausul ini, akan tetapi terdapat pembatasan-pembatasan yang sangat ketat seperti misalnya tidak boleh lebih dari waktu tertentu (biasanya dua tahun), tidak boleh bertentangan dengan kepentingan publik, tidak menyebabkan perlindungan yang berlebihan terhadap suatu kegiatan usaha selain rahasia dagang, serta tidak boleh menyebabkan pembatasan yang berlebihan sehingga menghambat karyawan tersebut kesulitan mencari nafkah.
Prinsip perusahaan dalam hal ini yaitu “take it or leave it”, jika pekerja tidak setuju dengan isi perjanjian kerja, maka perusahaan akan mencari pekerja lainnya yang setuju dengan isi perjanjian yang ditawarkan perusahaan. Namun, penolakan yang akan dilakukan oleh seorang pekerja atau buruh hanya dapat terjadi apabila tenaga kerja tersebut memiliki lebih dari satu keterampilan/keahlian. Sehingga, di dalam suatu perjanjian kerja yang mencantumkan non competition clause terdapat unsur terpaksa dari pihak pekerja atau buruh untuk menyutujui perjanjian kerja tersebut, yang pada akhirnya akan membatasi hak dari tenaga kerja tersebut untuk mendapatkan pekerjaan dan mendapat penghasilan sesuai dengan keahlian yang dimiliki.
Pencantuman non competition clause di Indonesia  bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, khususnya UU Ketenagakerjaan dan UU HAM, serta UUD NRI Tahun 1945. Dalam KUHPerdata sendiri mengatur mengenai hal yang memiliki kemiripan dengan pengertian non competition clause, yaitu suatu perjanjian yang berlaku terhadap pihaknya setelah berakhirnya suatu hubungan kerja atau dikenal dengan nama perjanjian kerja persaingan (Concutentie Beding). Pengertian perjanjian kerja persaingan ini diatur dalam Pasal 1601 x ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi:
“Suatu janji antara si majikan dan si buruh, dengan mana pihak yang belakangan ini dibatasi dalam kekuasaannya untuk setelah berakhirnya hubungan kerja melakukan pekerjaan dengan sesuatu cara, hanyalah sah apabila janji itu dibuat dalam suatu perjanjian tertulis atau dalam suatu reglemen, dengan seorang buruh yang dewasa.”
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa KUHPerdata memperbolehkan penggunaan perjanjian yang berisikan pembatasan kekuasaan terhadap suatu pihak setelah berakhirnya hubungan kerja. Namun, tentu saja pembatasan tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia casu quo UU Ketenagakerjaan dan UU HAM, maupun UUD NRI Tahun 1945.
Atas perjanjian kerja yang berisi non competition clause dan memberatkan pihak pekerja dapat melakukan upaya-upaya hukum demi tercapainya kepastian hukum bagi pekerja, diantaranya:
Permohonan Penetapan Pembatalan Perjanjian.
Perjanjian kerja yang didalanya mencantumkan klasul non-kompetisi tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata yakni syarat objektif. Maka, terhadap perjanjian tersebut dapat dikatakan batal demi hukum. Namun agar memberikan kepastian hukum lebih terhadap pekerja, pekerja dapat melakukan permohonan penetapan pembatalan perjanjian walaupun perjanjian tersebut telah batal demi hukum.
Pengajuan Keberatan.
Pekerja memiliki hak untuk mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri, di mana isi dari gugatan tersebut antara lain berisi keberatan atas isi dari perjanjian kerja dan memohon kepada Hakim untuk membatalkan isi dari perjanjian kerja tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 1601 x ayat (2) BW yang menyatakan bahwa:
“Pengadilan diperbolehkan atas tuntutan buruh walaupun karena dimintanya pada pembelaannya dalam suatu perkara, meniadakan untuk seluruhnya atau sebagian suatu janji seperti itu dengan alasan bahwa dibandingkan dengan kepentingan majikan yang dilindungi itu, buruh dirugikan secara tidak adil oleh janji tersebut.”
Mengenai keberatan yang diajukan oleh pekerja ini, dapat dikategorikan sebagai perselisihan kepentingan sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PHI) yang berbunyi :
“Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.”
Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat (Pasal 3 ayat (1) UU PPHI). Jika dalam waktu 30 hari, para pihak tidak dapat menegosiasikan penyelesaian atau salah satu pihak menolak untuk melanjutkan negosiasi, salah satu atau kedua pihak dapat mengajukan sengketa kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat, dengan bukti bahwa perundingan telah gagal (Pasal 4 ayat (1) UU PPHI). Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase (Pasal 4 ayat (3) UU PPHI). Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator (Pasal 4 ayat (4) UU PPHI). Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial (Pasal 5 UU PPHI).
Non competition clause tidak termasuk sebagai “kesepakatan tertulis untuk menjaga rahasia dagang” sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 200 tentang Rahasia Dagang karena tidak memenuhi unsur “kewajiban untuk menjaga rahasia dagang”. Non competition clause berisi tentang larangan bagi mantan karyawan untuk bekerja di perusahaan dengan bidang yang sama dalam waktu tertentu setelah pemutusan hubungan kerja, bukan berisi tentang kewajiban untuk menjaga rahasia dagang. Sehingga, terhadap karyawan yang melakukan pelanggaran terhadap non competition clause tidak dapat dituntut atas perbuatan pelanggaran rahasia dagang karena pelanggaran terhadap non competition clause tidak sama dengan perbuatan pelanggaran rahasia dagang.
Model non competition clause yang terdapat asas proporsionalitas di dalamnya adalah dengan memberikan pembatasan yang logis mengenai larangan bekerja bagi mantan karyawan perusahaan pasca pemutusan hubungan kerja, pembatasan tersebut diantaranya adalah:
Wilayah geografis
Ditentukan batasan mengenai daerah atau lebih spesifik lagi perusahaan mana saja yang tidak boleh dimasuki oleh pekerja yang dikhawatirkan untuk timbulnya pembocoran rahasia dagang. Dengan pembatasan wilayah ini maka pekerja masih mempunyai kesempatan untuk bekerja di wilayah lain selain yang dilarang dalam klausul.
Pemberian kompensasi
Dalam waktu tertentu pekerja tidak diperbolehkan bekerja di perusahaan tertentu seharusnya pekerja diberikan kompensasi baik berbentuk uang ataupun bentuk lainnya. Agar selama waktu yang ditentukan tersebut pekerja masih dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Jenis pekerjaan yang dilakukan
Ditentukan secara spesifik batasan jenis pekerjaan apa yang tidak boleh dikerjakan oleh pekerja yang hendak bekerja di perusahaan lain setelah terjadinya pemutusan hubungan kerja. Agar tidak terjadinya bias, contohnya apabila seseorang bekerja di perusahaan lain dengan bidang yang sama dengan perusahaan tempat ia bekerja sebelumnya, namun ia bekerja pada posisi/jabatan/jenis pekerjaan yang berbeda apakah ia tetap tidak boleh bekerja pada perusahaan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Amalia,Rizki. “Non-Competition Clause Dalam Perjanjian Kerja”. Jurnal Ilmiah Universitas Airlangga.

Made,I Hendra Gunawan dan I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari. Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Berkaitan Dengan Adanya Non Competition Clause Dalam Sebuah Perjanjian Kerja. Jurnal Ilmiah Universitas Udayana.

Nur, Rizki Annisa dkk. “Urgensi Kontrak Kerja Yang Berkeadilan Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Rahasia Dagang”. Masalah-Masalah Hukum. Jilid 47 No.4, Oktober 2018.


Sutarko, Ria dan Sudjana.”Klausul Non-Kompetisi Dalam Perjanjian Kerja Dikaitkan Dengan Prinsip Kerahasiaan Perusahaan Dalam Perspektif Hak Untuk Memilih Pekerjaan Berdasarkan Hukum Positif Indonesia”. Al Amwal: Vol. 1, No. 1, Agustus 2018


 Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. 2003. Jakarta: PT.Pradnya Paramita.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Website

Chandra Kurniawan dalam artikel “Menyoal Non-Competition Clause dalam Perjanjian Kerja”. www.hukumonline.com. dikunjungi pada 27 Agustus 2019